HomeTeologiaSawang Sinawang

Sawang Sinawang

Anda pernah dengar istilah Sawang Sinawang dalam kehidupan sehari-hari? Sawang sinawang adalah peribahasa bahasa Jawa, urip iku mung sawang sinawang  (hidup itu hanya memandang dipandang). Versi selengkapnya urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang  (hidup itu hanya tentang memandang dan dipandang, jadi jangan hanya memandang dari apa yang terlihat). Bukankah dalam bahasa Indonesia sering kita dengar juga ungkapan:  Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput di halaman kita. Maknanya, melihat kehidupan orang lain lebih baik daripada kehidupan kita.

Pepatah ini mengandung ajaran untuk tidak membanding-bandingkan kehidupan seseorang dengan orang lain, karena apa yang dipandang belum tentu seindah atau semudah yang tampak. Satu sisi negatifnya bisa berakhir pada sikap iri hati dengan kesuksesan orang lain. Tapi ada segi positifnya juga yaitu kita bisa introspeksi diri mengapa kondisi kita tidak sebaik orang lain. Ini sebuah pembelajaran hidup  dengan cara menyikapi untuk perbaikan sikap mental diri kita sendiri. Jadi tetaplah bersyukur dan menerima apa yang telah kita terima dari Tuhan.

Saling Memandang

Alkitab BIS dari konteks Yohanes 13:21-30 diberi judul LAI: “Yesus bernubuat tentang penghianatan terhadap diri-Nya”. Didahului dengan pernyataan Yesus dalam ayat 21: “Sungguh benar kata-Ku ini: Salah seorang dari antara kalian akan menghianati aku (paradôsei me) ”. Akibat pernyataan ini pada ayat 22: Murid-murid itu  memandang seorang kepada yang lain (eblepon eis allêlous hoi mathêtai), mereka ragu-ragu siapa yang  dimaksud. (TB).

Kata allêlous dalam bahasa Yunani berarti ‘saling, atau satu sama lain’, berasal dari kata allêlôn, dipakai 100 kali dalam PB.  Wajar kalau mereka saling memandang, karena pernyataan Yesus adalah ‘salah seorang’ dari antara kalian. Jadi saling memandang dikarenakan ketidak tahuan mereka atas satu pernyataan yang tidak konkrit. Mereka saling bertanya dalam hati dan diekspresikan hanya dengan saling memandang.  Kata memandang terjemahan dari kata (blepô) yang ditulis dalam PB sebanyak 132 kali. Kata blepô bisa berarti melihat, memandang, memperhatikan, mewaspadai.

Memandang Rendah

Ini sikap yang kurang baik dalam berteman atau dalam relasi sebuah komunitas. Yesus menegur orang Farisi yang arogan di Lukas 18:9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah  (exouthenountas) semua orang lain. Kata exouthenountas adalah Tense Present – Active dari kata (exoutheneô) yang artinya memandang rendah, menganggap hina orang lain (to despise).

Memiliki percaya diri itu tentu baik. Namun, kalau suka merendahkan orang lain dan menganggap dirinya paling penting, bisa jadi itu tanda gangguan narsistik atau narcissistic personality disorder. Ini tergolong gangguan kepribadian yang menganggap dirinya jauh lebih penting dari orang lain. Selalu menilai diri sendiri lebih tinggi nilainya dibandingkan  orang lain.

Ciri-ciri kepribadian ini antara lain: Memiliki superiority complex, cenderung arogan, merasa ingin selalu dipuji atau dikagumi. Kurang memiliki rasa empati dan ada kecenderungan memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Sering melebih-lebihkan prestasinya kepada orang lain dan jelas ada kesombongan pada dirinya. Ia cenderung berharap ada perlakuan istimewa pada dirinya.

Itulah sebabnya Yesus menegur orang Farisi dengan perumpamaan dua orang yang pergi ke bait Allah untuk berdoa, yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. (Lukas 18:10). Diakhiri dengan nasihat Yesus pada ayat 14b: Sebab barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri (tapeinôn heauton), ia akan ditinggikan (hupsôthêsetai).

Memandang Muka

Kala pertama kita berkenalan dengan seorang, bisa jadi ada kesan negatif  begitu kita melihat penampilannya. Mungkin terlihat tidak simpatik atau judes dsb.nya. Disadari atau tidak, kadang kita menilai apakah seseorang pantas untuk mendapatkan kasih, perhatian dan empati kita, lebih daripada orang lainnya. Kita tidak berpegang pada hukum kasih Allah yang sempurna, kita memakai kriteria kita sendiri yang penuh dengan kekurangan.

Itu juga yang dikisahkan Samuel  ketika Daud akan diurapi menjadi raja. Allah mengutus Samuel kepada Isai orang Betlehem, sebab di antara anak-anaknya ada yang dipilih sebagai raja. Saat itu anak-anak Isai disuruh masuk satu persatu, lalu Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya dialah orang yang akan diurapi oleh Tuhan. Tetapi Allah berfirman pada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia  melihat apa yang di depan mata, tetapi Allah melihat hati (1 Samuel 16:7). Tuhan melihat bukan hanya tampilan luar seseorang tetapi justru kondisi hati kita. Yang terpenting bagi Tuhan bukanlah penampilan fisik, talenta, pencapaian, atau reputasi kita, melainkan siapa diri kita yang sebenarnya.

Di mata Tuhan, kita semua sama-sama orang berdosa yang membutuhkan anugerah dan pengampunan Tuhan. Prinsip ini harus tertanam dalam hati kita agar kita berhenti memandang muka. Yang perlu kita lakukan pertama-tama adalah melihat kondisi hati kita sendiri. Jika kita tidak memahami hati dan kebutuhan kita sendiri, maka kita tidak akan pernah bisa memahami hati dan kebutuhan orang lain.

Dalam PB Yakobus juga menulis dengan nada yang sama. ”Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka (prosôpolêmpsiais) (Yakobus 2:1). Hal yang sama juga ditulis dalam Efesus 6:9b “Ingatlah bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu di sorga dan Ia tidak memandang muka (prosôpolêmpsia). Vide Roma 2:11, Kolose 3:25). Kata ini hanya dipakai 4 kali di PB.

Hanya pada saat kita mengizinkan Tuhan menolong kita untuk secara bertahap mengalami transformasi hati dan mengikuti jalan-Nya, barulah kita dapat melihat orang lain dengan perspektif anugerah dan kasih, sebagaimana Tuhan melihat kita.

Memandang dengan Seksama

Kehidupan zaman ini banyak diwarnai dengan sifat duniawi. Kini hedonisme dan materialisme banyak dijadikan falsafah hidup seseorang untuk menikmati kesenangan dunia. Tuhan mengatakan Dia adalah terang dunia, karena itu Dia menghendaki kita hidup sebagai anak-anak terang. Itulah sebabnya Paulus menulis kepada jemaat Efesus yang sarat dengan hidup keduniawian. “Karena itu, perhatikanlah (blepete) dengan seksama, bagaimana kamu hidup, jangan seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif. Kata blepete adalah Tense Present, Imperatif, Aktif. 2nd person, Plural  dari kata kerja (blepô) yang berarti memperhatikan, mewaspadai. (Efesus 5:15)

Hedonisme berasal dari bahasa Yunani (hêdonê) berarti kesenangan.  Hedonisme adalah gaya hidup yang berfokus mencari kesenangan dan kepuasan tanpa batas. Sifat hedonisme adalah berusaha menghindari hal-hal yang menyakitkan atau menyusahkan dengan memaksimalkan perasaan-perasaan yang menyenangkan.

Hedonisme dipopulerkan oleh Aristippos, murid Socrates sang filsuf Yunani. Aristippos berpandangan bahwa kehidupan terbaik bagi manusia adalah kesenangan.  Kata hêdonê  dalam Yakobus 4:1 diterjemahkan sebagai hawa nafsu (Alkitab TB) dan kesenangan (Alkitab BIS).

Ciri-ciri hedonisme antara lain: mengutamakan kenikmatan hidup sebagai tujuan, bersifat egois, tidak pernah merasa puas, perilakunya konsumtif dan cenderung angkuh atau sombong.

Miliki Persepsi Positif

Definisi persepsi menurut Wagner dan Hollenbeck (1995)  adalah sebuah proses di mana seseorang tersebut dapat memilih, mengelola, menyimpan, serta menginterpretasikan informasi-informasi yang telah direkam  melalui kelima indera. Memang persepsi seseorang dipengaruhi karakteristik dan pengalaman pribadinya. Persepsi positif adalah persepsi yang menggambarkan tanggapan segala pengetahuan (tahu tidaknya atau kenal tidaknya) yang dilanjutkan dengan upaya pemanfaatannya. Hal itu akan di respon dengan keaktifan mendukung obyek yang di persepsikan.

Paulus memotivasi jemaat di Filipi dengan persepsi positif: “Tetapi damai sejahtera (eirênê) Allah yang melampaui segala akal (noun) akan memelihara hati (kardias) dan pikiranmu (noêmata) di dalam Yesus Kristus”. (Filipi 4:7).

Ini dimungkinkan kalau kita selalu bersyukur, punya pola ugahari atau hidup sederhana, selektif memilih teman pergaulan dan fokus pada hal-hal positif. Seperti halnya Paulus menegaskan dalam Filipi 4:8, “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah (logizesthe) semuanya itu”

Pandanglah ke atas untuk berharap. Pandanglah ke bawah untuk bersyukur. Pandanglah sekeliling untuk berbagi. Sebagai murid Kristus yang sejati, seharusnya kita memiliki karakter Kristus dalam semua aspek pelayanan antara lain: memiliki kasih  agapê yaitu kasih yang unconditional. Bersikap humble atau rendah hati, panjang sabar, tulus hati. Memiliki integritas dan ketaatan pada Firman-Nya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments