HomeGereja & MasyarakatSulitnya Pembangunan Gedung Gereja dan Kembalinya Semangat Pemulihan Reformasi

Sulitnya Pembangunan Gedung Gereja dan Kembalinya Semangat Pemulihan Reformasi

Orkestrasi Intoleransi

Akhir-akhir ini Indonesia dihadapkan pada permasalah klasik terkait intoleransi beragama. Persekusi kepada umat Kristen yang sedang menjalankan ibadah kembali marak. Bahkan terkesan terorkestrasi secara relatif serentak. Setelah peristiwa pengusiran para remaja peserta retreat di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat pada 27 Juni 2025; bergerak ke perusakan rumah doa GKSI (Gereja Kristen Setia Indonesia) Anugerah Padang di Kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal 27 Juli 2025 sore; kini yang terbaru adalah penolakan pembangunan Gedung GKJW di Mojoroto, Kota Kediri. GKJW Mojoroto sesungguhnya telah hadir sejak 1997, namun kini FKUB meminta proses pengurusan perizinan diulang dari awal akibat diksi “tidak keberatan” harus disesuaikan aturan yang ada menjadi “dukungan”.

Pembangunan gedung gereja untuk 175 keluarga yang terdiri dari 375 jiwa tersebut sesungguhnya telah memperoleh tandatangan dari 65 warga dan lebih dari 200 jemaat. Namun pilihan kata yang digunakan dalam surat tersebut menjadi alasan FKUB tidak menerbitkan rekomendasi dan proses perlu diulang. Akibatnya, pembangunan Gedung gereja terpaksa dihentikan.

Setara Institute mencatat bahwa dalam kurun waktu 2014 hingga 2024 1.998 peristiwa dan 3.217 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada tahun 2024 saja terjadi 73 kejadian intoleransi oleh masyarakat, 53 peristiwa diskriminatif oleh negara, dan tercatat 42 kasus gangguan tempat ibadah. Bagi umat Kristen, tentu hal ini memunculkan pertanyaan: mengapa?

Penderitaan Kekristenan Mula-mula

Sejarah mencatat bahwa Kekristenan mula-mula, utamanya sekitar abad pertama hingga ketiga sesungguhnya tidak membangun gereja secara fisik karena beberapa alasan:

  1. Persekusi dan legalitas agama. Umat Kristen mengalami persekusi yang mendalam dari kekaisaran Romawi. Kristen dianggap sebagai agama tidak sah (religio illicita) dan bahkan pengakuan sebagai pengikut Kristus secara terbuka dapat menyebabkan kematian. Pada masa tersebut ibadah secara diam-diam dilakukan melalui gereja dalam rumah-rumah pribadi seperti milik Priskila dan Akwila (Roma 16:3-5) dan juga di berbagai katakombe, yaitu terowongan bawah tanah yang sesungguhnya adalah tempat pemakaman.
  2. Akar Yahudi dan pengaruh sinagoga. Pada masa mula-mula tersebut sesungguhnya umat Kristen adalah umat Yahudi yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat, sehingga belum menjadi sebuah agama baru. Mereka bertemu dan beribadah di dalam Bait Allah yang adalah sebuah sinagoga (Kisah Para Rasul 2:46). Setelah diusir dari sinagoga, umat Kristen bersekutu di rumah-rumah pribadi (Yohanes 9:22 dan 12:42).
  3. Eskatologis dan sumber daya terbatas. Umat Kristen percaya atas kedatangan Yesus Kristus kedua kalinya, sehingga pada saat itu bangunan rumah ibadah permanen dianggap tidak dibutuhkan. Di sisi lain, umat Kristen adalah kelompok minoritas yang kebanyakan berasal dari masyarakat kelas bawah sehingga tidak memiliki status hukum dan dana yang cukup untuk membangun rumah ibadah (gereja). Hal ini diperburuk oleh tekanan penguasa Romawi.

Gereja secara fisik baru mulai dibangun pada abad ketiga. Setelah Edik Milan tahun 313 oleh Kaisar Konstantin yang melegalkan Kekristenan, barulah pembangunan berbagai gereja besar dilakukan, seperti Basilika St. Yohanes Lateran pada tahun 324. Gedung gereja kemudian semakin banyak dibangun setelah Kaisar Theodosius I menjadikan Kristen sebagai agama negara pada tahun 380.

Persekusi Umat Kristen di Era Indonesia Modern

Berbeda dengan persoalan Kekristenan mula-mula di mana umat Kristen dipersekusi oleh negara (Kekaisaran Romawi), pada masa Indonesia modern persekusi kepada umat Kristen terjadi dalam model relasi horisontal yang dilegalkan oleh aturan negara. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 adalah tekanan negara yang mewajibkan adanya dukungan warga sekitar gereja dan umat Kristen plus rekomendasi FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dalam proses pendirian rumah ibadah.

SKB 2006 ini pada prinsipnya mensyaratkan dukungan umat Islam pada setiap pembangunan gereja di wilayah di mana umat Kristen adalah minoritas. Sebuah dukungan formal dalam dokumen resmi yang tidak pernah mudah untuk diperoleh. SKB 2006 inilah yang selalu menjadi landasan FKUB dalam menolak kelanjutan proses pengurusan perizinan gereja dan juga menjadi alasan kelompok intoleran untuk menolak, menutup, dan bahkan merusak gereja maupun rumah doa.

Pada intinya, tekanan pada Kekristenan mula-mula dan Indonesia di era modern ini tampak hampir sama persis. Perbedaannya hanyalah aktor negara tidak hadir di depan, namun terkesan “mengizinkan” kekuatan kelompok intoleran untuk “mewakili” negara dalam melakukan persekusi pada umat Kristen. Oleh karenanya, justru saat ini umat Kristen Indonesia mengalami kekerasan agama dan budaya akibat adanya sejenis politik Islamisasi dan diskrimasi hukum. Kesetaraan di hadapan hukum yang dijamin konstitusi tampak berbeda dalam implementasi aturan hukum pidana terkait penistaan agama dan peraturan daerah terkait usaha makanan mengandung babi serta jam buka rumah makan sepanjang masa puasa umat Islam.

Akibat sulitnya memperoleh izin pendirian rumah ibadah, maka di Indonesia jamak ditemukan gereja yang melakukan ibadah dengan menyewa dan/atau membeli ruang-ruang di hotel, restoran, maupun mall dan plaza serta bangunan publik lainnya yang dapat disewa. Pasca pandemi COVID-19, umat Kristen juga sudah terbiasa dengan ibadah online (daring) melalui pelbagai fasilitas berbasis teknologi informasi yang dimungkinkan. Perkembangan terkini dan hadirnya teknologi informasi tersebut tampaknya telah memicu pertanyaan mendasar: masihkah gereja sebagai bangunan fisik masih dibutuhkan umat Kristen untuk beribadah?

Semangat Reformasi

Mencermati reformasi sekitar 500 tahun lalu dan tahun-tahun berikutnya, terdapat banyak pergumulan tentang makna bergereja. Jodocus van Lodenstein (1674) melalui sebuah buku renungan yang ditulisnya ia mengungkap sebuah frasa yang kemudian sangat terkenal dan berpengaruh di kalangan umat Kristen Protestan: “Ecclesia Reformata, Semper Reformanda”. Artinya, gereja yang direformasi senantiasa memperbarui; pada frasa ini kata “memperbarui” lebih dimaknai sebagai “memulihkan”.

Van Lodenstein menemukan jawaban atas kegalauan hatinya tentang reformasi vs deformasi gereja dengan meyakini bahwa sesungguhnya reformasi terletak pada sisi batin, sisi internal agama, yaitu: ‘hati’. Ia mencatat bahwa bahaya terbesar bukan terletak pada beragamnya (aliran) gereja, namun pada formalisme gereja yang seringkali gagal mereformasi dirinya sendiri sehingga menggeser kekuatan iman sejati menjadi formalitas ritual. Pertanyaan yang menyertai ungkapan von Lodenstein ini adalah: apakah persekusi terhadap umat Kristen yang kini terjadi di Indonesia adalah peristiwa sejarah dan pengalaman iman yang membangitkan semangat Kekristenan mula-mula?

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments