“Pak pendeta, saya sudah berpacaran selama dua tahun dengan orang yang sangat saya cintai, namun bagaimana saya tahu kalau pacar saya ini adalah jodoh saya kelak?” Ucap seorang pemuda.
“Apa yang sudah kalian lakukan selama dua tahun pacaran?” Tanya pendetanya.
“Oh… saya sudah kenal persis siapa pacar saya ini. Saya juga mengenal baik watak serta sifat pacar saya ini,” jawab pemuda itu cepat.
“Apalagi yang sudah kamu ketahui tentang pacarmu itu,” kata pendeta lebih lanjut.
“Tentu saja saya juga tahu pekerjaan pacar saya, apa yang dia lakukan, dengan siapa dia bergaul, bahkan penghasilan perbulan pun saya mengetahuinya. Pokoknya hampir semua tentang pacar saya itu, saya tahu!” Kata pemuda itu dengan mantap.
“Lalu, bagaimana dengan keyakinan kalian?” Selidik pendeta tersebut.
“Jangan kuatir pak pendeta, pacar saya ini seorang Kristen seperti saya. Memang kami beda gereja, namun sama-sama Kristen,” sahutnya lebih lanjut.
“Bagaimana pendapat pacarmu itu tentang kamu?” Tanya pendetanya lagi.
“Menurutnya saya adalah orang yang sangat pengertian, bisa mengerti apa yang dia butuhkan,” terang pemuda itu dengan semangat.
Ada banyak muda mudi ketika berpacaran berusaha saling mengerti sifat masing-masing. Itu bukan hal yang salah, sebab substansi berpacaran adalah proses saling mengenal satu sama lain demi terwujudnya sebuah pernikahan. Bukankah tujuan akhir dari berpacaran adalah pernikahan?
Saling mengenal saat berpacaran bukan sekedar tahu sifat masing-masing pasangan, merasa cocok dengan kebiasaan satu sama lain dan ditambah lagi saling pengertian. Namun, lebih dari itu, apakah orang yang kita pacari adalah orang yang dikehendaki Tuhan? Tuhan selalu punya rencana dan kehendak bagi orang percaya untuk menikah dengan orang yang tepat.
Tiga hal ini perlu dipahami apakah orang yang kita pacari kelak menjadi jodoh kita?
Mengasihi Tuhan
Kita semua tahu bahwa tak seorang pun yang tidak percaya Tuhan, agama atau kepercayaan apapun pasti percaya Tuhan. Namun, apakah semua orang mengasihi Tuhan? Karena itu menikahlah dengan orang yang mengasihi Tuhan. Faktor terbesar perceraian dan ketidak harmonisan suatu pernikahan disebabkan karena pasangan yang tidak mengasihi Tuhan. Lalu, kasih seperti apa yang dapat kita lakukan sebagai wujud bahwa kita atau pasangan kita mengasihi Tuhan? Matius 22:37 mengatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”
Beragama Kristen, orang tuanya Kristen bahkan menikah secara Kristen, tetapi hidup pernikahannya kok tidak harmonis? Jelas sekali bahwa kekristenan tidak menjamin keharmonisan pernikahan. Keharmonisan akan tercipta jika ada Tuhan yang hadir serta ada komitmen dari kedua pasangan untuk terciptanya keharmonisan tersebut. Jangan menikah dengan orang Kristen semata, tetapi menikahlah dengan orang Kristen yang mengasihi Tuhan, sebab banyak orang sekarang ini yang mengaku Kristen tetapi hidupnya tidak mencerminkan sebagai orang yang mengasihi Tuhan. Orang yang mengasihi Tuhan adalah orang yang terus berupaya untuk senantiasa mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.
Saat berpacaran biasanya seseorang hanya mengasihi pasangannya saja sehingga cenderung mengesampingkan kasih kepada Tuhan. Misalnya, seorang pemuda rela melakukan apa saja hanya karena kasihnya kepada sang pacar, padahal apa yang dilakukan jelas bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Mengasihi Pasangan
Suatu hari seorang suami yang sudah tidak tahan dengan aturan yang dibuat istri berencana menceraikan istrinya tersebut. Sang suami merasa berat dengan tuntutan si istri yang meminta agar suaminya selalu memberitahu kemana ia pergi, urusan apa, dengan siapa, kapan pulang dan sebagainya.
Namun karena suaminya mengasihi dengan tulus, akhirnya sang suami tetap menerima si istri apa adanya dan bukannya menuntut istrinya yang harus berubah, sehingga apapun sikap istri maupun kelakuannya tidak lagi meresahkan suami karena kasih yang sepenuh hati, bukan setengah-setengah.
Mengasihi pasangan tidak dapat ditentukan oleh hal-hal lain. Kasih ini lahir karena ada komitmen mengasihi. Situasi dan kondisi apapun tidak dapat mempengaruhinya. Alkitab juga menganjurkan agar kita mengasihi dengan kasih yang tulus dan bersifat kekal, bukan mengasihi karena demi kepuasan dan kepentingan pribadi.
Mengasihi Diri Sendiri
Mengasihi diri sendiri di sini bukan menunjuk kepada keegoisan sehingga terkesan tidak mengutamakan orang lain dan hanya mengutamakan diri sendiri. Mengasihi diri sendiri hanya dapat tercipta bila kita memiliki konsep yang benar akan siapa kita dan bagaimana kita memandang diri kita dalam pandangan Tuhan. “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:29b).
Memang ada orang yang hanya mengutamakan kebutuhan orang lain tanpa menghiraukan kebutuhannya sendiri. Namun, hal itu tidaklah benar jika kita mengacu pada Matius 22:29b di atas. Tuhan tidak menyuruh mengasihi orang lain tanpa mengasihi diri sendiri. Sebab selain mengasihi orang lain, kita juga dituntut memperhatikan kepentingan dan kebutuhan diri.
Orang yang dapat mengasihi dirinya sendiri akan berpotensi untuk mengasihi pasangannya. Sebaliknya, orang yang tidak dapat mengasihi diri sendiri, akan sulit mengasihi pasangannya. Orang seperti ini akan menghancurkan rumah tangga yang dibangunnya. Sebab itu janganlah menikah dengan orang yang tidak mampu mengasihi dirinya sendiri.
Dunia berpacaran memang dunia penuh keindahan, bahkan orang seringkali lupa siapa dirinya, bagaimana memandang diri menurut pandangan Tuhan. Namun, jika kita tetap menerapkan tiga hal di atas, maka kita siap menyongsong hidup pernikahan yang penuh dengan kebahagiaan. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah berpacaran dengan orang yang mengasihi Tuhan, mengasihi pasangan dan mengasihi diri sendiri?