ANDA pernah dengar peribahasa bahasa Jawa: Gajah diblangkoni? Biso kojah ora biso nglakoni. Artinya: Bisa cerita tapi tidak bisa menjalani. Julukan itu ditujukan kepada para orangtua, pendidik, pengkotbah yang biasa menasihati, tapi dirinya tidak bisa memberi teladan apa yang dikatakan. Kontras ya?
Dalam Perjanjian Baru kita mengenal teladan Paulus sebagai seorang komunikator (pemberita) besar pada zamannya. Ia menulis kepada jemaat di Korintus: “Telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus.” hoti este epistolê Christou. (2 Korintus 3 :3).
Melalui teladan orang Kristen, orang lain dengan mudah akan mengiakan bahwa orang itu adalah murid Kristus. Sebaliknya citra yang kurang baik akan segera mengundang keraguan dan cemoohan: “Kok begitu modelnya orang Kristen?”
Citra Pribadi
Sosok Paulus yang berwatak keras dengan temperamen dasar kolerik yang dominan dalam pribadinya, sangat menarik untuk disimak. Melalui media surat, Paulus dengan semangat yang berapi-api telah membangun kesadaran jemaat-jemaat yang pernah diinjili. Surat-suratnya selalu diawali dengan salam kasih dalam Yesus Kristus. Sebagai contoh dalam 1 Korintus 1:3, “Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu”.
Kehadiran Roh Kudus diulang-tandaskan kepada penerima berita dengan maksud agar isi berita yang disampaikan itu berasal dari wahyu Allah dan Alah bekerja melalui pemberitaan itu. Sekalipun demikian pemberitaan itu bisa menjadi gagal, seandainya Paulus sendiri tidak membuktikan kebenarannya.
Paulus menandaskan bahwa yang ditulisnya bukan ditulis dengan tinta tetapi oleh Roh Kudus: alla Pneumati Theou. (2 Korintus 3:3). Tetapi agaknya kita terkejut bila menyimak kata-kata yang kasar yang pernah diucapkannya, apalagi bila dipandang dari sudut budaya Jawa yang berperangai halus. Misalnya dalam Galatia 3:1 dikatakan: “Hai orang-orang Galatia yang bodoh” Tentunya kata ‘bodoh’ mempunyai konotasi negatif, namun di sini justru menunjukkan hubungan yang akrab antara Paulus dengan Jemaat Galatia. Paulus tahu benar siapa dan bagaimana jemaat yang pernah dilayaninya, sehingga hal itu bukan kata-kata emosi tetapi menunjukkan wibawa ilahi yang menyertai dirinya.
Wibawa Berita
Dalam situasi kritis yang lain Paulus bahkan tegas mengatakan: “Jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia” (Galatia 1:9b). Kewibawaannya dibuktikan dalam Galatia 1:11-12. Injil yang diberikan bukan injil manusia, tetapi Paulus menerimanya oleh pernyataan Yesus Kristus sendiri.
Sebelum Paulus menjadi pemberita yang baik, ia adalah komunikator dunia yang ulung. Ia bisa membakar massa dan mempengaruhinya, tetapi semuanya bersumber pada akal dan kekuatan pribadinya. Secara akademis Paulus berguru pada Gamaliel seorang profesor yang pandai dan menguasai hukum Taurat dengan baik. Paulus sebagai komunikator yang handal, berhasil memenangkan dunia yang bersifat fana. Tetapi pada suatu hari harus tunduk dan mengakui wibawa yang lebih tinggi dari dirinya, yaitu wibawa Yesus Kristus.
Ia telah berhasil menjebloskan orang-orang Kristen ke dalam penjara pada abad permulaan tumbuhnya gereja, karena ia pandai berkomunikasi dan mempengaruhi para pejabat dan massa. Namun, ketika ia telah bertobat, bukan pribadi dan temperamen lama yang menguasai dirinya, tetapi sebagai “pemberita” dia sudah menjadi “berita” itu sendiri. Kepada jemaat Galatia dia menandaskan bahwa hidupnya bukan dia lagi, tetapi Kristus yang ada di dalam dirinya: egô zê de en emoi Christos. (Galatia 2:20).
Dengan demikian inti berita itu telah menyatu dalam kata-kata yang ia sampaikan kepada setiap orang maupun kepada massa. Kunci keberhasilan Paulus bukan karena dia adalah pakar komunikasi, tetapi karena dia telah tunduk dan menyerahkan talenta, bakat dan kepandaiannya di bawah kuasa Roh Kudus. Roh Kuduslah yang mengubah itu menjadi suatu berita yang nyata dalam perilaku kehidupannya sehingga dilihat secara langsung oleh orang yang dijumpainya.Sifat dan temperamen tidak menjadi hilang tetapi dikuduskan oleh karya Roh Kudus, sehingga ia tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Hidup Kudus
Dr. James F. Engel, mengatakan: “Orang Kristen harus hidup dan menerapkan pesannya itu dalam dirinya, sebelum pesan itu diterima orang lain.” Dengan kata lain kita harus mau diubah dulu oleh kuasa Firman Allah sebelum kita ingin orang lain berubah oleh berita yang akan kita sampaikan.
Seorang pemberita adalah orang yang disiapkan untuk memberitakan Injil, tetapi yang sekaligus secara terus menerus menyerahkan diri untuk dibaharui oleh Firman Tuhan dalam Dia. Karena itu Paulus juga mengajar anak didiknya Timotius dengan berkata: “Semuanya itu dikuduskan (hagiazetai) oleh Firman Allah dan oleh doa” (1Timotius 4:5).
Karena itu kehidupan yang kudus: (hagios) adalah syarat mutlak bagi seorang pemberita, agar ia bisa melayani dengan baik di hadapan Allah yang Maha Kudus. “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan: (hêgiasmenon), dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia” (2 Timotius 2: 21).
Pemberita dapat diibaratkan seperti sebuah pipa air minum yang mengalirkan ‘air bersih’ , yaitu Firman Allah kepada para konsumen air yaitu penerima berita. Dapat dibayangkan apa reaksi konsumen, kalau pipa-pipa air minum itu berkarat dan berlubang? Mereka pasti menolak air yang sudah tercemari dengan polusi kotoran itu.
Satunya Kata dan Perbuatan
Dalam pelayanan bisa terjadi seorang pelayan Firman Tuhan secara tidak sadar memakai perkataan, sikap maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Hal ini bisa mengganggu “berita” yang disampaikan karena mereka telah menjadi batu sandungan, sehingga penerima berita bersikap tertutup terhadap berita yang disampaikan.
Dengan demikian amatlah penting hubungan berita dengan pemberita. Kosuke Koyama, yang juga anak didik Dr. James F. Engel, menggaris bawahi: “Cara untuk membangun komunikasi itu sendiri, karena pemberita dan berita itu harus menjadi satu”.
Seorang komunikator Kristen (Pemberita) adalah orang yang dipilih Allah sejak semula, dan juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya. Setiap Pemberita Kristen dipanggil tetapi juga dibenarkan-Nya, juga sekaligus dimuliakan-Nya. (Roma 8: 29-30).
Berdasarkan pengharapan itu maka setiap Pemberita tidak perlu bersikap pesimis untuk menjadi seorang pemberita yang baik. Barangkali juga ada baiknya kita simak nasihat seorang tokoh komunikator Kristen yang mengatakan: “Please be patient, God is not finished with me yet” yang artinya. “Bersabarlah Allah masih belum selesai berkarya pada diriku”.