Melawan Lupa
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) didirikan pada 25 Mei 1950, sebagai perwujudan kerinduan umat Kristen di Indonesia untuk mempersatukan kembali Gereja sebagai tubuh Kristus yang telah terpisah-pisah dalam pelbagai denominasi gereja. DGI memakai simbol perahu yang berlayar dengan tiangnya Salib dan bertuliskan Oikoumene. Sejak Sidang Raya X di Ambon tahun 1984, nama DGI disepakati diganti menjadi PGI.
Semangat ekumene sejak tahun 1950inilah yang kemudian melahirkan beberapa para gereja (para church) yang jumlahnya saat itu ada sembilan. Sehingga ada julukan: Walisongonya Kristen.
Mereka adalah: GSKI (Gerakan Siswa Kristen Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia), PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia), PIKI (Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia), PERTAKIN (Persatuan Tani Kristen Indonesia), PARKINDO (Partai Kristen Indonesia), KESPEKRI (Kesatuan Pekerja Kristen Indonesia), LKIK (Lembaga Kebudayaan Indonesia Kristen). Beberapa memang ada yang tidur, juga ada yang almarhum. Tapi bersyukur PIKI tetap eksis dan berkarya sampai kini.

Mengapa Mitra Gereja
Kemitraan PIKI dengan Gereja sudah terjalin sejak lama, walaupun tidak secara institusional. Para tokoh PIKI (Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia) adalah tokoh Gereja yang sejak dulu ingin mempersatukan gereja-gereja di Indonesia.
Sedang cikal bakal GMKI adalah Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV) yang sudah berdiri sejak 28 Desember 1932 di Kaliurang, Yogyakarta. Kemudian lahirlah GMKI pada tanggal 9 Februari 1950, yang disusul dengan lahirnya DGI pada tahun yang sama. Dari situlah PIKI didirikan dan digagas oleh Pengurus Pusat GMKI bersama dengan Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI), didirikan 19 Desember 1963 di Jakarta.
Inteligensia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan kaum cerdik pandai, cendekiawan. Sedangkan William Stern menjabarkan inteligensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya. William Stern berpendapat bahwa inteligensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan, pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada inteligensi seseorang (Anne Anastasi, 1997).
Sebagai ilmuwan, PIKI tidak meninggalkan titik pijaknya yaitu Firman Allah dalam PL dan PB. Maka PIKI juga mendalami persekutuan (koinonia) antar anggotanya. Sebagai pengejawantahan iman, maka PIKI juga berkiprah melayani (diakonia) secara preventif dan kuratif.
PIKI juga tidak meninggalkan misinya dalam kesaksian (marturia) dengan mewartakan Injil menggenapi Amanat Agung Kristus. Karena itulah PIKI disebut sebagai mitra Gereja yang memiliki kesamaan trilogi tugasnya di masyarakat.
Quo Vadis PIKI?
Kini PIKI telah menjalaniusia tujuh puluh dua tahun. Suatu rentang waktu panjang yang dilalui bersama PGI.PIKI juga mengejawantahkan doa Tuhan Yesus (Yoh 17:21a) untuk kesatuan umat Kristen dalam kepelbagaian teologi, tradisi, budaya sehingga terwujud ‘unity in diversity’.
Adalah kerinduan PIKI memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk berperan serta membangun masyarakat yang sejahtera dan beriman. “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:24).
Sebagai mitra gereja, PIKI harus konsisten dalam pembaruan. Seperti yang dikatakan bapak Reformator. Ecclesia Reformata Semper Reformanda. Ini juga sejalan dengan Roma 12:2b ‘berubahlah oleh pembaharuan budimu’. Dalam teks Yunani dipakai kata metamorphousthe, dari kata meta dan morphoô (to transform). Kata ini memakai tense Present dalam bentuk Imperative.
Jadi tepatlah fungsi PIKI sebagai pembaharu dalam semua segi kehidupan yang sakral maupun yang sekular, keduanya terintegrasi mewujudkan iman Kristiani yang multi perspektif. Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura.


