Masyarakat Indonesia terkenal akan keberagaman suku, budaya, adat istiadat, serta agama. Meskipun begitu, selama bertahun-tahun masyarakat Indonesia mampu hidup damai dan rukun karena dilandasi sikap toleransi.
Pentingnya menanamkan kembali sikap toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan upaya penting demi terwujudnya persatuan Indonesia. Dengan menjaga kemajemukan dan memperkuat nilai-nilai pancasila, Indonesia bisa membangun peradaban yang semakin maju.
Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam mempromosikan sikap toleransi melalui literasi, khusunya literasi digital.
Berdasar hal tersebut, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Forum Beda tapi Mesra menyelenggarakan kegiatan Pemantapan Pembauran Kebangsaan dengan tema, “Membangun Toleransi Melalui Literasi.”
Perhelatan yang digelar 22-23 Maret 2022 di Hotel Ijen Suite Resort and Convention, Malang ini dibuka oleh Asisten Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, Benny Sampirwanto.

Beliau mengatakan, bahwa Bung Karno sebagai salah satu pendiri bangasa selalu menyerukan ‘Jas Merah’, yang artinya jangan sesekali melupakan sejarah. Generasi penerus, agar menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berkorban jiwa raga. Anak bangsa tinggal menikmati dan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan pada pelbagai bidang, untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Inilah yang disebut Literasi Kebangsaan. ,” papar Benny di hadapan para peserta, Selasa (22/3/2022).
“Literasi Kebangsaan harus terus ditanamkan kepada para generasi muda. Sehingga mereka tahu bagaimana negeri ini berdiri, yang kemudian dapat menumbuhkan rasa cinta, kepedulian, sikap rela berkorban, serta memiliki komitmen untuk terus merawat keutuhan NKRI,” papar Benny dihadapan sekitar 100 peserta yang terdiri dari Mahasiswa se-Malang Raya, Gusdurian, dan Roemah Bhinneka.
Bertindak sebagai moderator di acara yang berlangsung dua hari ini, yaitu Ketua Umum Forum Beda tapi Mesra (FBM) Surabaya, Syuhada Endrayono.

Narasumber pertama, KH. Muhammad Nizam Asshofa menjelaskan, bahwa membangun kerukunan merupakan kerja abadi. Selama manusia hidup, perbedaan akan selalu ada. Potensi konflik juga selalu terbuka lebar. Hal produktif yang perlu dilakukan adalah melakukan usaha dalam bentuk apa pun.
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Shofa wal Wafa ini menambahkan, bahwa dialog keagamaan merupakan bentuk yang efektif. Dialog tersebut antara lain, dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis, dan dialog pengalaman keagamaan.
“Tujuan dari dialog tersebut, pertama, menghidupkan suatu kesadaran baru tentang keprihatinan pokok iman orang lain . Kedua, mengarah kepada kerjasama untuk memecahkan persoalan kemanusiaan bersama di masyarakat,” papar Gus Nizam biasa disapa.
“Pembauran kebangsaan untuk kerukunan masyarakat merupakan perjuangan yang tidak pernah berakhir dan perlu tekad serta semangat yang kuat. Kerukanan masyarakat bisa dibangun melalui dua pola, yaitu Transenden Spiritual dan Dialog Keagamaan,” tutupnya.

Sedangkan narasumber kedua, Letkol (Purn) Didi Suryadi menjelaskan, bahwa Literasi Kebangsaan adalah hal yang harus ada dalam jiwa setiap masyarakat.
“Bhinneka Tunggal Ika merupakan karakter bangsa Indonesia. Artinya bahwa sudah ada sejak dulu kesadaran hidup bersama di dalam keberagaman, sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini,” tegas Didi Suryadi.
“Dengan teknologi yang semakin maju dan pesat, mau tidak mau kita masuk dalam era globalisasi. Tidak hanya nilai positif yang diperoleh, tidak jarang akibat buruk juga ditimbulkan,” imbuhnya.
Sekretaris Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) mengatakan, akibat globalisasi sejarah tidak lagi dijadikan referensi dalam membangun bangsa. Nilai-nilai budaya sebagai perekat persatuan semakin hilang. Hal yang memprihatinkan, kepedulian terhadap budaya sosial sebagai nilai-nilai luhur juga semakin berkurang.
“Mahasiswa bentrok, tawuran antar pelajar, antar supporter bola, tragedi Tanung Balai, Tragedi Singkil Aceh, menjamurnya budaya asing, maraknya peredaran narkoba, perilaku seks bebas merupakan contoh nyata kepedulian dan toleransi semakin pudar,” paparnya.
Didi Suryadi juga mengimbau para peserta yang hadir untuk meningkatkan Literasi Kebangsaan, dengan menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat.
“Dengan pemahaman terhadap Pancasila, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, merupakan wujud dari Literasi Kebangsaan yang berjalan dengan baik. Karena Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dapat menangkal tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia,” tegasnya.

Dwi Cahyono yang didaulat menjadi narasumber ketiga memberi gambaran, bahwa perbedaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat disikapi sebagai sebuah keniscayaan atas realita keragaman dan sosiokultural. “Beda boleh-boleh saja. Namun, secara keseluruhan dijiwai oleh jiwa yang sama. Seperti yang tergambar pada salam arek-arek Malang, yakni Salam Satu Jiwa Arema.
“Di Malang Raya, toleransi sudah final. Karena itu, Malang adalah Kota Toleran, bukan Kota Intoleran, itu prinsip,” jelas Ki Dwi, sapaan akrabnya itu.
Lebih lanjut dirinya memaparkan, Malang merupakan sebuah kota perjumpaan dan pluralitas sosiobudaya yang ada di dalamnya begitu beragam.
“Pluralitas merupakan jati diri Kota Malang dengan karakter yang unik, karena secara geografis Malang Raya terletak di daerah pedalaman. Berada di lingkungan gunung yang diiris-iris banyak sungai. Tetapi faktanya, dari waktu ke waktu gelombang imigran menetap di Malang dengan membawa serta budayanya,” papar Ki Dwi.
Dirinya menerangkan, kesejarahan Malang bercirikan pluralitas sosiokultural sudah ada sejak masa Hindu-Budha, perkembangan Islam, masa colonial, dan masa kemerdekaan hingga sekarang. “Dengan demikian, Malang diwarnai oleh budaya luar yang masuk secara bergelombang,” tuturnya.
Ki Dwi menyebut, berdasarkan sumber data prasasti, terdapat apa yang disebut ‘warga kilalan’. Yaitu warga mancanegara yang berada di daerah Malang sekarang. Baik yang berasal dari India, China, dan Parsi (Persia). Tidak hanya itu, pendatang dari daerah lain di Indonesia juga tidak sedikit yang datang dan menetap di Malang.
“Kecenderungan tinggal mengumpul sesama etnik kian diperkuat pada era Hindia Belanda, yang menerapkan sosiopolitik. Segresi politik yang menjadi latar adanya Kampung Cina (Pecinan Besar dan Kecil), Kampung Arab di area Kidul Dalem, permukiman India perantauan di Jagalan dengan area tinggal pada Burgenbuurt,” terang budayawan Kota Malang itu.
“Generasi muda yang bertoleransi adalah aset bangsa di masa depan. Karena itu penting untuk membudayakan sikap dan tindakan toleran pada generasi muda. Sehingga Malang sebagai Kota Toleran akan terwujud sepanjang masa,” tutupnya.

Sebagai narasumber keempat atau terakhir, Purnowo Junarso mengajak seluruh peserta untuk menjaga toleransi melalui kegiatan menulis, baik di media cetak, media digital, maupun di media sosial.
“Tanpa literasi yang baik, maka toleransi akan sulit diwujudkan. Dalam berliterasi dibutuhkan pengetahuan serta wawasan luas. Sebab makin luas wawasan seseorang, makin mudah menghadapi perbedaan pandangan,” jelas Purnowo di awal presentasinya.
Selanjutnya, Ketua Unit Kerja Media dan Komunikas FBM ini menjelaskan, bahwa literasi sangat penting bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sebab tanpa literasi, perlahan tapi pasti, manusia akan menuju kepada kebinasaan.
“Kegiatan literasi, khususnya menulis sangat penting dalam memerangi ketidakbenaran. Tulisan dapat menyadarkan orang untuk memahami segala sesuatu dari sudut pandang yang positif, dan meluruskan berita tidak benar yang terlanjur menyebar. Tugas penulis yang baik adalah mencari data-data dari sumber yang benar dan terpercaya, kemudian menuliskannya,” ungkap Purnowo yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Berkat.
Selain memberikan langkah-langkah cara menulis yang baik, Purnowo Junarso atau biasa dipanggil dengan sapaan pak John Pur ini, mengajak peserta untuk memerangi gerakan-gerakan di ruang digital yang mengarah kepada intoleransi. Dengan membangun gerakan literasi berbasis toleransi, maka nasionalisme kebangsaan berdasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika makin terwujud di negeri Indonesia ini. (brkt/doc).