HomeLintas EkumeneRujak Cingur Memang Lezat, Ekumene Lebih Nikmat

Rujak Cingur Memang Lezat, Ekumene Lebih Nikmat

DENGAR namanya saja, banyak orang melirik ke kuliner yang  satu ini. Rujak cingur yang terdiri pelbagai bahan buah dan sayuran, serta cingur sapi yang disatukan dengan bumbu yang melezatkan, demikian juga istilah ‘ekumene’ yang berarti juga menyatukan pelbagai unsur agar menjadi satu. Seperti apa sebenarnya kaitan keduanya?

Apa Ekumene?

Ekumene sudah dikenal sejak tempo doeloe. Diteliti dan diwacanai oleh para teolog. Diolah para elit gereja di tingkat nasional dan internasional. Dipasarkan oleh lembaga sakral yang extra gerejani maupun yang intra gerejani. Dijadikan motto berabad-abad sampai mendunia, tapi belum nyata. Lahirlah bermacam restoran rohani yang menyajikan menu ‘ekumene’ pada abad 20 seperti World Council of Churches (WCC), Lutheran World Federation (LWF), World Aliance Reformed Churches (WARC), World Evangelical Aliance (WEA).

Entah sadar atau tidak, begitu kita mendengar kata ekumene, gambaran kita tertuju pada acara bersama antar beberapa gereja. Kata ekumene dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya: “gerakan yang bertujuan menyatukan atau menghimpun kembali gereja-gereja Protestan sedunia dan akhirnya menyatukan segenap umat Kristen”.

Aslinya ditulis dalam bahasa Yunani: oikoumenē yang artinya dunia.  Kata ini terdiri dari oikos artinya rumah (Kisah Rasul 16:15) dan kata kerja menō (Matius 10:11) artinya mendiami, tinggal. Kalau begitu, ekumene adalah dunia yang kita diami. Sehingga dalam artian yang luas: seluruh dunia yang didiami, gereja seluruhnya, hubungan antar gereja-gereja serta usaha untuk mewujudkan keesaan gereja yang sudah terpecah itu. Istilah oikoumene dipakai dalam PB bahasa Yunani sebanyak 15 kali, misalnya Matius 24:14.

Bersaing atau Bersanding?

Bersaing merupakan ciri organisasi sekuler yang ingin menguasai segalanya. Bersanding merupakan ciri organisasi gerejani yang taat pada panggilan Kristus.

Untuk mewujudkan GKYE kita harus mulai dengan ‘membuka diri’ dan ‘menjalin komunikasi’ dengan saudara seiman yang lain. Mengenal, mengasihi dan melayani. Bisakah gembala sidang yang satu mengenal gembala  sidang gereja tetangganya yang beda denominasi? Siapa yang harus memulainya?  Wah, sulit barangkali tidak ada waktu. Padahal kita tahu panggilan itu mulia, lalu kapan kita wujudkan Gereja Kristen Yang Esa (GKYE)?

Proses Mengesa

GKYE bukan supra organisasi dari organisasi gereja-gereja yang ada. GKYE terpulang pada setiap orang beriman yang mau mewujudkan doa Tuhan Yesus sebagai pendoa syafaat sejati: “supaya mereka menjadi satu” – dari bahasa Yunani: “hina pantes hen osin”  – “that all of them maybe one” (bahasa Inggris). Bahasa Latinnya: “Ut omnes unum sint dan bahasa Jawa: “supados sadayanipun sami dadosa satunggal” (Yohanes 17:21a). Di lingkup nasional ada Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada 25 Mei 1950. Kemudian menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Aras nasional ini lebih dikenal dengan istilah ekumenikal. Itulah sebabnya bulan Mei dijadikan bulan Ekumene.

Kemudian lahirlah Persekutuan Injili Indonesia (PII) tahun 1971 lalu diubah menjadi Persekutuan Gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII). Kelompok ini lebih menekankan gereja pada aspek evangelisasi. Lalu gereja-gereja Pentakosta membentuk Dewan Pentakosta di Surabaya tgl.14 September 1979, yang kemudian 22 Oktober 1998 diubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta (PGPI). Kelompok ini lebih mengutamakan aspek Pentacostal.

Di aras nasional masih ada Gabungan Gereja Baptis Indonesia (GGBI) yang dibentuk 12 Agustus 1971. Belum lagi gereja-gereja Advent menghimpun wadah nasional Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Gabungan Gereja Baptis di Indonesia (GGBI).  Ada lagi Gereja Orthodox Indonesia, yang mempunyai jemaat-jemaat di pelbagai kota di Indonesia.

Ada ketersalingan

Intinya semua pola pendekatan adalah ketersalingan dalam konteks Indonesia yaitu: “dalam rangka sejarah, tugas panggilan, kewenangan dan tugas panggilan bersama”. Semoga kita bukan hanya menikmati ekumene dari mimbar gereja saja, tetapi merealisasikan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat.

Semuanya butuh waktu tetapi bukan berarti kita bisa kesampingkan dan kembali sibuk dengan rutinitas masing-masing gereja yang tak kunjung habisnya. Kita tidak ber-ilusi tentang sebuah organisasi dengan perangkat departemen keesaan. Bukan itu, karena yang kita utamakan dan kerjakan adalah spirit pembaharuan tubuh Kristus yang harus menyatu.

BAMAG Lahir Karena Kebutuhan

Pada era tahun 1970-an DGIS (sekarang PGIS) melalui Departemen Pelayanan dan Kesaksian yang diketuai oleh H.B. Prawiromaruto, SH. mencoba merealisir fellowship gereja-gereja di Surabaya. Kenyataannya hanya gereja-gereja yang tergabung di DGI yang menanggapinya. Kendala inilah yang kemudian di sharing kan bersama tokoh-tokoh Kristen di GPIB Maranatha pada akhir tahun 1970. Acara ini mengundang Let.jend. (Purn) Tahi Bonar Simatupang. Pak Sim, panggilan akrab beliau, merindukan adanya kesatuan gereja-gereja di Surabaya melalui pertemuan periodik.

Pengurus BAMAG bersama Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa

Akhirnya dibentuk suatu badan musyawarah yang independen, inter-denominasi. Tepatnya tanggal 27 Juni 1975 lahirlah Badan Musyawarah Antar Gereja (BAMAG). Disepakati agar semua gereja di Surabaya yang terdaftar di Bimas Kristen Departemen Agama RI, yang mengakui Alkitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama yang adalah Firman Allah, sebagai anggotanya.

Persekutuan Doa BAMAG di GKI Manyar Surabaya

Wadah ini bukan supra struktural dari gereja-gereja di Surabaya, tetapi lebih bersifat sebagai “jembatan, jejaring” agar panggilan gereja itu diwujudkan dalam kebersamaan. Kehadirannya juga didukung oleh lembaga-lembaga aras nasional yang memiliki perwakilan di Surabaya seperti PGI, PGLII, PGPI, GGBI, GMAHK, Gereja Orthodox Indonesia bahkan Keuskupan Gereja Katolik di Surabaya.

Quo Vadis Ekumene?

Mari menjadi pengikut Kristus yang menghadirkan ‘Kerajaan Allah’. Bukankah sebagian dari gereja-gereja mengikrarkan Credo tiap Minggu: “Aku percaya kepada Gereja yang Kudus dan Am”. Mari kita wujudkan spirit ekumene di jemaat kita dengan kepelbagaian yang ada. Kedepankan hal-hal yang primer demi keesaan dan kesampingkan hal-hal yang menghambat proses itu, seperti apa yang dikatakan oleh Agustine of Hippo: “In essential-unity, In non essentialliberty, In all thingcharity

Bukankah sejarah adalah goresan ulah manusia yang ikut bertanggung jawab terhadap karya Allah yang besar terhadap umat-Nya? Rujak Cingur memang lezat, tapi ekumene bahkan lebih nikmat ketika orang Kristen mau mengejawantahkan esensi GKYE. Ayo kita kedepankan kesamaan, kesampingkan perbedaan. Supaya mereka menjadi satu. “Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mazmur 133:1).

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments