Lahir dalam keluarga dengan ayah suka berjudi sampai seluruh harta yang mereka punyai habis dan jatuh dalam kemiskinan. Mama dan enam bersaudara ini harus menumpang di rumah nenek. Di saat seluruh keluarga, kakak dan adik marah, Elisabeth memberi kekuatan dan nasihat pada semua saudaranya untuk tetap menghormati sang papa sesuai Firman Tuhan. Mereka bekerja keras membantu mama mereka dalam menyambung hidup. Akhirnya mereka semua bisa keluar dari kemiskinan dan hidup dalam berkat Tuhan.
Musibah
Elisabeth lahir dengan penglihatan normal, namun kecelakaan dari benturan keras di kepala membuat dia kehilangan seluruh penglihatannya. Dia juga dinyatakan menderita tumor otak dan di vonis empat profesor dokter Jerman hanya mampu bertahan hidup paling lama lima tahun.
Tumor otak sepanjang 11,3 sentimeter diantara kedua alis itulah yang merusak semua syaraf mata, sehingga di usia 32 tahun Elisabeth kehilangan seluruh penglihatannya. Ngerinya lagi dokter mengatakan paling lama 10 bulan bola mata Elisabeth akan kering, kempes dan hilang, tidak punya biji mata lagi. Waktu musibah itu terjadi yaitu tahun 1992, Elisabeth sudah menikah dengan Jimmy Philip selama 10 tahun. Musibah ini membuat Elisabeth terpukul, tapi seluruh keluarga sangat men-support dan mendorong Elisabeth bangkit dari kondisinya.
Sejak kecil mamanya selalu mengajak Elisabeth ke gereja mengikuti doa pagi dan terus percaya pada Tuhan Yesus. Hanya Yesuslah yang menjadi tempat pelarian Elisabeth kala musibah datang menimpa. Akhirnya hanya dalam waktu tiga hari Elisabeth bangkit dari keterpurukan karena ia sadar bahwa tidak ada peristiwa terjadi tanpa seizin Tuhan, dan kalau Tuhan mengizinkan berarti akan ada hal baik yang terjadi.
Niat Membangkitkan Desa Tertinggal
Desa Tlogoweru di Kecamatan Guntur Kabupaten Demak merupakan desa wisata yang terkenal dengan budidaya burung hantu jenis Tyto Alba. Desa itu juga tersohor karena mengundang tamu datang dari segala penjuru Indonesia dan luar negeri.
Mereka datang untuk belajar beternak burung hantu Tyto Alba yang bermanfaat sebagai predator pengusir hama tikus di persawahan warga. Cikal bakal Desa Tlogoweru sebagai daerah penangkaran burung hantu itu bermula dari kedatangan Elisabeth Philip.
Perempuan yang berasal dari Kota Semarang itu datang ke Desa Tlogoweru pada tahun 2007. Meski memiliki keterbatasan fisik tidak bisa melihat, Elisabeth tergerak hatinya untuk mengentaskan kemiskinan di desa tersebut.
“Sudah sejak tahun 1960, Desa Tlogoweru berstatus sebagai desa tertinggal. Saat saya datang ke sana kondisinya sangat memprihatinkan. Terpencil, akses jalan rusak, dan lahan pertaniannya kering tidak pernah panen. Saya tergerak karena rasa belas kasihan yang Tuhan taruh di hati saya,’’ ungkapnya.
Niat Elisabeth membantu untuk membangkitkan desa yang tertinggal itu menjadi desa sejahtera tentu tidak mudah. Masyarakat bahkan kepala desa saat itu menaruh rasa curiga padanya.
Bangun BLK Untuk Pendidikan Dan Pelatihan Warga
“Saat masuk di Tlogoweru pertama kali saya dicurigai karena mereka melihat kulit saya dan nama saya. Mereka tahu saya ini keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Saya ditolak karena warga desa mayoritas Muslim. Namun, saya menjawab keraguan mereka dengan satu kepastian. Saya bilang saya datang untuk mengentaskan kemiskinan dan tidak ingin mengkristenkan mereka,’’ kata perempuan berusia 63 tahun itu.
Dengan segala pemikiran dan tenaganya, Elisabeth mendidik dan melatih warga desa dengan keterampilan seperti menjahit, tata rias, komputer, beternak lele, sapi, hingga burung hantu dan bertani. Namun, upaya itu sempat terkendala karena Desa Tlogoweru belum memiliki tempat untuk pelatihan warga. Balai desa pun tidak memenuhi syarat sebagai tempat belajar. Akhirnya pada tahun 2011, setelah bernegosiasi dengan Lurah setempat ia membangun Balai Latihan Kerja (BLK) Sejahtera Bersama di desa tersebut. Seluruh perhatian dan pelatihan yang diberikan kepada warga di sana gratis.
Gagas Peternakan Burung Hantu Tyto Alba di Tlogoweru
Seiring berjalan waktu Desa Tlogoweru semakin berdaya, Elisabeth yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga itu juga melahirkan kelompok batik Tyto Alba yang beranggotakan warga perempuan di sana. Mereka membatik di sela bekerja sebagai buruh tani. Adapun ciri khas motif batik dari Desa Tlogoweru adalah burung hantu.
Kain-kain batik hasil karya warga itu kini tidak hanya dipasarkan di wilayah Demak tapi sudah sampai Jawa Timur. Per lembar kain batik dijual seharga 100 ribu hingga 1 juta rupiah tergantung bahan dan motif yang dibuat.
Usaha Elisabeth membangkitkan perekonomian warga tidak hanya sampai di situ. Desa Tlogoweru yang tidak bisa dipisahkan dengan ikon burung hantu itu pun memiliki cerita tersendiri. Untuk mengatasi kekeringan Elisabet membangun 1.200 sumur pantek untuk sarana masuknya air dari dalam tanah. Elisabeth juga menggagas agar warga beternak burung hantu yang bisa dimanfaatkan sebagai predator pengusir tikus yang mengganggu area sawah.
Kini desa yang dulu tertinggal itu sekarang menjadi desa percontohan nasional. “Sejak saat itu Tlogoweru banyak dikunjungi orang-orang dari luar daerah untuk belajar. Kenapa desa yang dulu miskin tertinggal bisa menjadi makmur. Itu alasan mereka datang untuk mencari tahu dan belajar. Bahkan, pernah ada orang dari Kalimantan datang nyarter pesawat untuk belajar di sana. Hingga Pak Lurah dan Carik (Sekretaris Desa) dapat penghargaan dari negara,” jelas istri dari Jimmy Philip tersebut.
Bangun SMK Bagimu Negeriku Untuk Anak-anak Tidak Mampu
Elisabeth memang tuna netra, tapi keterbatasan itu tidak menghalanginya untuk berkarya, aktif berkegiatan sosial, dan mendermakan dirinya sebagai saluran berkat bagi orang lain. Semua itu karena pengalaman dan pelajaran hidup yang dialaminya bersama Tuhan.
“Waktu kecil saya pengen sekolah, tapi tidak bisa bayar. Untuk sekolah, orang tua saya harus jual pakaian bekas. Waktu itu saya bermimpi, kalau bisa menghasilkan uang saya ingin sekali memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak,” tutur perempuan kelahiran Semarang pada 30 Agustus 1960 itu.
Mimpi itu diwujudkannya dengan membangun SMK Bagimu Negeriku di Jalan Palir Raya Nomor 66–68 Podorejo, Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. Elisabeth mendirikan sekolah itu karena tangisan anak bangsa. Para siswa yang sekolah di sana dari kalangan tidak mampu tapi memiliki semangat tinggi untuk belajar. Mereka tidak hanya berasal dari Kota Semarang, tapi juga dari luar Jawa.
Subsidi Penuh Biaya Sekolah Siswa Dari Luar Jawa
“Saat itu saya berkunjung ke pedalaman Sintang, banyak anak-anak yang tidak punya pengharapan di sana. Ada dari mereka yang bertanya pada saya. Bu, apa sekolah itu hanya orang kota dan orang kaya, bagaimana nasib kami di tengah hutan? Dalam hati saya berucap, kalau Tuhan berkati saya mau mendirikan sebuah sekolah yang memberi kesempatan kepada orang pedalaman agar bisa menuntut ilmu”.
Mimpi itu terkabul dan terbukti, mantan guru taman kanak-kanak (TK) itu bisa memberikan tempat serta kesempatan kepada anak-anak tidak mampu dari 28 provinsi di Indonesia sekolah di SMK Bagimu Negeri yang dibuka pada tahun 2011. Anak-anak dari pedalaman datang dengan kondisi seadanya, bahkan ada yang tidak memakai celana dan pakaian dalam, serta berkutu rambutnya.
Mereka mengenyam pendidikan di sekolah asrama tersebut. Bagi siswa yang dari luar Jawa, mereka mendapatkan subsidi penuh untuk biaya sekolah. Anak-anak itu belajar di lima jurusan yang tersedia di SMK Bagimu Negeriku, yaitu Teknik Konstruksi Batu dan Beton, Jasa Boga, Multimedia, Teknik Kendaraan Ringan, dan Rekayasa Perangkat Lunak.
Lulusan dari sekolah ini, 13 orang kerja di Jepang, satu mendapat lisensi sepakbola FIFA anak pelatih youth, satu anak Papua dapat beasiswa ke Beijing, satu anak lainnya dapat beasiswa ke Beijing, anak Sintang dapat juara, satu fotografer dapat kesempatan kuliah di UI, dan lain-lain. (Kesaksian Elisabeth Philip / Ir. Heru – NAT)