Kehidupan ini memang tak ada yang sempurna. Ada saja sisi-sisi kekurangan yang dimiliki setiap insan. Baik di satu sisi, tapi buruk di sisi yang lain. Tergantung pula dari sudut pandang mana orang akan menilai. Namun, di dalam perjalanan hidup orang yang telah dipanggil-Nya, Allah ikut berkarya membentuk pribadi seseorang.
Masa Kelabu
Pemuda kelahiran Sidoarjo tanggal 5 April 1936 ini adalah putra kedua dari lima bersaudara keluarga Bapak/Ibu Harry Lauw Tjoe Siong empat laki-laki dan satu wanita. Ayahnya seorang pengusaha “melkery” (perusahaan susu). Tetapi siapa mengira usaha itu hancur karena pecah Class II tahun 1949 waktu Belanda menduduki kembali Indonesia, juga sang ayah diculik orang, entah beliau masih hidup atau mati.
Sejak itu ibunya bekerja sebagai karyawan pabrik rokok di Malang. Demikian juga pemuda Lauw Siok Ling yang kini berganti nama Petrus Prasetya harus menghadapi kenyataan hidup dengan bekerja sebagai rekening loper sebuah bloemenhandel (toko bunga) di Malang. Selain itu, ia harus bekerja malam hari di P.P.U (Persatuan Pergaulan Umum), semacam ballroom dance. Lingkungan yang serba mewah dan alunan musik yang romantis tidak menghiburnya. Memang tujuannya bukan untuk menikmati, tetapi mencari uang untuk membiayai sekolahnya. Sambil bertugas malam di PPU dia menggunakan waktunya untuk belajar.
Sering Dilecehkan Teman
Pemuda yang berperawakan besar sejak kecilnya, adalah satu-satunya murid keturunan Tionghoa. Sekalipun perawakannya besar, namun dalam jiwa pemuda ini sudah tertanam sifat “minder” (kurang harga diri) yang diwarisi juga dari ibunya. Tak jarang cemoohan datang bertubi-tubi menerpa dirinya. Namun di balik sifat minder ini tergores daya juang yang luar biasa.
Belajar dalam keadaan sulit bukan persoalan bagi dia, bahkan prestasinya kelihatan menonjol. Rupa-rupanya kharisma memimpin sudah ada pada pemuda ini sejak SMP, sehingga ia dipilih menjadi Ketua organisasi siswa SMP Negeri. Di SMP negeri ini Lauw Siok Ling mengikuti pelajaran agama Islam dan bahasa Jawa karena ia tertarik pada dua pelajaran ini.
Suara Yang Mengingatkan
Lauw Siok Ling memang punya kebiasaan menyendiri. Terkadang dengan sepeda ia mengayuhnya ke suatu tempat yang lapang sambil menikmati rerumputan yang hijau, atau ke tepi sungai mengamati air yang mengalir. Barangkali hobi menyendiri ini yang dibawanya terus sampai kelak ia menjadi pendeta yang suka “retreat”.
Selain itu hobi olahraga angkat besi disenangi sejak SMP kelas 1, waktu itu berat badannya sudah mencapai sekitar 70 kilo gram. Bisa dibayangkan sifat minder ini kompensasi dengan rasa “sok jagoan” apalagi ditunjang perawakan yang besar dan kekar.
Ada lagi hobi lain yaitu “nonton bioskop” khususnya film cowboy yang saat itu digemari tua dan muda. Hobi satu ini barangkali yang mengantarnya pada jalan Tuhan. Sepulang dari nonton film cowboy biasanya anak muda terpengaruh dengan gaya dan jalan seorang cowboy. Nah, di situ dia dikeroyok tujuh pemuda, dipukul dan disepak sehingga mulutnya berdarah. Saat itu timbul kebencian dalam hatinya untuk membunuh salah satu pemuda itu. Betul juga, seorang sudah ia pegang bajunya. Namun di saat kepalan tinjunya akan dilayangkan ke pemuda itu, ia mendengar suara lembut berkata: “Masa begitu saja tidak mau mengampuni …”.
Ia tertegun sebentar, ragu …. Lalu dengan suara mantap ia melepaskan baju lawannya dan berkata: ”Saya maafkan kamu!” heran juga, tujuh pemuda itu berangsur pergi satu persatu meninggalkan Lauw Siok Ling. Adakah ini suatu kuasa Tuhan yang mengubah bagi orang yang mau mengampuni?
Memenuhi Panggilan Tuhan
Pengalaman tadi ternyata mengubah hidup pemuda Lauw Siok Ling untuk ikut Tuhan Yesus, ketika usai kelas bible study yang dipimpin Rev. Johnson di GKI Tumapel, Lauw Siok Ling bertanya: “Bagaimana kalau saya ikut Tuhan Yesus?”.
“Mau jadi apa melayani Tuhan?” tantang Rev. Johnson.
“Pokoknya, saya mau jadi pelayan Tuhan.”
“Mengapa begitu?”.
“Ya, karena saya merasa bosan dengan masa lalu keluarga saya yang hitam”
Keinginan ini kemudian disampaikan kepada Gouw Kiem Hok (Pdt. B.A. Abednego) yang saat itu sudah masuk Sekolah Teologi Balai Wiyata Malang. Iseng-iseng Lauw Siok Ling ikut tes di Sekolah Teologi Baliwiyoto, tapi aneh ketika Gouw Kiem Hok datang memberi kabar bahwa ia diterima. “Ling, kamu diterima. Besok bawa tikar dan bantal untuk masuk asrama!” ujar Gouw Kiem Hok.
Menjadi Hamba Yang Setia
Pernah suatu malam ketika Lauw Siok Ling akan tidur di kamar asrama Bale Wiyoto mendengar suara lembut berbisik : “Jadilah hamba Tuhan yang sungguh-sungguh setia…” Waktu itu ia duduk di tingkat V, dan kata-kata itu sangat mengusik hatinya. Untuk menentramkan batinnya, peristiwa itu dikonsultasikan kepada Pdt. Tasdik sebagai Rektor. Pak Tasdik mengiakan bahwa Roh Kudus dapat berbicara melalui hati nurani seseorang. Akhirnya Lauw Siok Ling lulus Sekolah Teologi Bale Wiyata pada tahun 1962 dengan nilai baik.
Panggilannya makin menjadi nyata ketika menerima panggilan sebagai Penginjil Gereja Kristus Tuhan Jemaat Malang. Ada syarat yang harus dipenuhi: Tidak boleh merokok dan tidak boleh menonton film!
Waktu masih menjadi penginjil, Ia menyunting Lydia sebagai gadis pilihannya. Sampai kemudian ia ditahbiskan sebagai pendeta GKT pada tanggal 16 Februari 1966 oleh Pdt. Baring Yang. Di saat yang bersejarah itu pula, ibunya yang kekasih membisikkan kata-kata, “Jadilah hamba Tuhan yang sungguh-sunggu setia” persis seperti suara yang dulu pernah didengarnya di asrama.
Ladang Baru
Rupanya Tuhan memberi ladang baru bagi Pdt. Lauw Siok Ling yang kini kita kenal dengan nama Pdt. Petrus Prasetya. Pada tanggal 15 September 1970 beliau diteguhkan sebagai pendeta Gereja Kristen Indonesia Jatim Surabaya daerah Sulung (Kini GKI Sulung).
Jemaat yang jumlah anggotanya lima kali lipat dibandingkan anggota jemaat ladang yang lama merupakan tantangan besar. Di sinilah ia ditantang untuk berkarya lebih banyak. Ia memulai mengadakan pembinaan dengan kader inti sebanyak 60 orang. Tetapi kemudian berkurang menjadi 35 orang dan akhirnya tinggal 7 orang yang setia. Dengan modal ini mereka tetap setia menjadi motivator, baik di kemajelisan maupun di Komisi dan Sektor. Kemudian ia mulai dengan pengaturan sistem organisasi, mulai dari pembinaan di Komisi Remaja, Komisi Pemuda sampai Majelis Gereja. Pada tahun 1976-1977 berkesempatan mendalami Islamologi di Selly Oak Collages, Birmingham, Inggris selama satu tahun.
Pemimpin Yang Belajar Mengampuni
Kharisma berorganisasi diawali ketika tahun 1962 beliau dipilih sebagai Sekretaris Badan Musyawarah Gereja-gereja Kristen Malang, dan inilah yang membuka wawasan berorganisasi dalam skala luas. Sampai tahun 1970 menjadi ketua Dewan Kuratorium PPAG Malang. Sampai tahun 1986 menjadi Ketua Majelis Gereja GKI Sulung Sekolahan Surabaya. Pernah menjabat Ketua Umum Sinode GKI Jatim periode tahun 1978-1982 selama dua periode.
Bergelut dalam bidang organisasi tentu juga menghadapi tantangan yang beragam. Bahkan tidak jarang kritik-kritik tajam menimpa dirinya sebagai pemimpin. Tetapi di sinilah beliau merasakan peran Roh Kudus berkarya dalam pelayanan. Di sinilah Firman Tuhan berperan memberi pedoman hidup bagi Pdt. Petrus.
Lukas 6:27:28 adalah ayat yang dipegang sebagai dasar kepemimpinannya. “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu. Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang mencaci maki”
KESEIMBANGAN PROFESIONALISME DAN SPIRITUALISME
Mengantisipasi gejala makin kurangnya calon-calon pendeta yang terpanggil, ia berpendapat ada dua sebab :
- Sekolah Tinggi Teologia itu sendiri kurang intensif mempersiapkan mahasiswa dalam panggilannya sebagai pendeta. Misi ini dinilai sudah bergeser dari apa yang dulu sudah dicanangkan oleh Zending.
- Banyak lulusan SMA mencari Sekolah yang dapat mudah cari pekerjaan dan menghasilkan banyak uang.
Itulah sebabnya beliau berpesan: “Panggilan jangan sekedar perasaan. Calon pendeta harus meningkatkan profesionalisme seimbang dengan spiritualisme”.
(Profil Pdt. Petrus Prasetya – BERKAT EDISI 20 1993)