HomeOpiniDialog Multi Faktor Pelayanan Pendeta

Dialog Multi Faktor Pelayanan Pendeta

PENDETA yang melayani sebuah jemaat pasti pernah merasakan “naik dan turunnya” pelayanan. Ketika segalanya terasa nyaman, sesuai dengan rencana, pas dengan yang diidam-idamkan, apalagi sesuai dengan visi maka pelayanan terasa menggembirakan, kreativitas bermunculan, tubuh pun tidak terasa lelah meski lama bekerja.

Sebaliknya, ketika terjadi ketegangan, suasana yang tidak kondusif, apalagi terjadi salah paham dan konflik dengan rekan sepelayanan, semuanya serasa berat, mau memulai tugas saja sudah terasa lelah. Sebenarnya “naik-turunnya” pelayanan itu wajar-wajar saja. Seperti sudah sering dikatakan, “pendeta juga manusia”.

Manusia pasti terbatas dan tidak mungkin sempurna. Tapi, mengatakan hal yang sering dikatakan seperti itu juga sebenarnya tidak terlalu berguna. Kalau sedang “turun”, alasan “pendeta juga manusia” itu tidak akan menolong memperbaiki keadaan.

Paling-paling hanya menghasilkan permakluman. Itupun lihat-lihat dulu bagaimana keadaannya. Kalau “turun”nya sudah berkali-kali, alias sudah memasuki fase “burn-out” maka dikatakan bahwa “pendeta juga manusia” pun sudah sulit untuk membuat orang manggut-manggut. Bukannya memaklumi, orang malah mungkin ingin si pendeta segera pindah atau cepat-cepat emeritus saja. Adakah yang dapat menolong memahami mengapa pelayanan pendeta ada “naik” dan “turunnya”? Terutama pas “turun”nya.

Manusia adalah makhluk yang dialogis. Setiap tindakan, pikiran, keputusan pasti terjadi dalam sebuah dialog. Dialog itu paling sedikit terjadi antara hal-hal yang ada pada diri seseorang dengan hal-hal yang berada di luar dirinya.

Hal-hal yang berada pada dirinya (internal) itu antara lain ekspresi kepribadiannya seperti lemah-lembut atau tegas, senang pada ketenangan atau justru yang ramai, dan seterusnya, termasuk juga sisi kanak-kanak atau sisi orang tua atau dewasa pada diri seseorang.

Di pihak lain, hal-hal yang dari luar diri (eksternal) antara lain suami atau istri, kolega, anak, tetangga dan seterusnya. Ketika faktor-faktor yang internal bertemu dengan yang eksternal maka timbul reaksi yang bervariasi. Misalnya sisi kanak-kanak saya bertemu dengan sahabat lama saya maka reaksi saya sangat positif.

Namun, jika sisi kanak-kanak saya bertemu dengan dosen senior apalagi yang seram maka reaksi yang keluar entah datar-datar saja atau malah kurang menyenangkan, tidak bisa plong. Kalau reaksi-reaksi tersebut diberi skor maka yang sangat positif tadi angkanya sepuluh, lalu yang terakhir tadi mungkin lima atau bahkan tiga.

Pengenalan akan dialog lintas aspek dalam hidup seorang pendeta atau siapa pun akan dapat menjelaskan mengapa atau kapan terjadi keadaan “naik” dan “turun”. Artinya, “naik” dan “turun” dalam hidup seseorang itu terjadi karena dialog antar posisi yang bisa dijelaskan.

Kita tidak bisa berada dalam reaksi yang sama terus menerus oleh karena perubahan posisi-posisi dialogis kita. Itu sebabnya kita bisa mendapati diri kita yang begitu bersemangat ketika bertemu dengan seseorang dan sangat enggan ketika bertemu dengan orang lainnya. Orang di sini bisa diganti dengan tempat. Faktor internal dan eksternal yang bertemu memungkinkan reaksi yang berbeda.

Pelajarannya adalah apa yang terjadi pada diri kita dapat dijelaskan lewat penelitian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang saling bertemu dan berdialog. Kedua, andaikan kita mau maka kita dapat mengatur dialog dalam diri kita. Mungkin faktor internal yang kita atur terhadap faktor eksternal yang sama atau faktor eksternalnya yang kita ubah dalam dialog yang faktor internal yang sama.

Reaksi kita sangat mungkin berubah ketika entah faktor internal atau eksternal yang kita temui berubah. Misalnya, saya yang senang sendirian ketika diajak teman untuk nonton sepak bola kemungkinan saya menjadi stres. Lalu saya mengubah faktor eksternalnya dengan pergi ke tepi sebuah danau yang sepi maka kemungkinan besar saya akan merasa bahagia.

Tapi bisa juga saya tetap nonton sepak bola, hanya saya ubah faktor internal saya ke rasa ingin tahu. Meskipun ramai, tapi keingintahuan saya akan siapa yang sedang bertanding dan berapa skor akhirnya membuat saya menyaksikan sepak bola itu dengan semangat juga.

(Pdt. Robert Setio)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments