Sambil memegang rokok dan sesekali menyeruput segelas kopi hitam panas yang ada di meja depan kami, kawan semasa SMA yang kebetulan sama-sama tinggal di satu kota ini mengisahkan cerita sedihnya.
“saya tidak tahu, ternyata perempuan yang saya nikahi hampir 20 itu telah lama menjalin hubungan dengan pria idaman lain,” ucapnya mengawali perbincangan kami di sisi luar salah satu kedai kopi sebuah mal.
“Kenyataan itu telah terbukti, setelah kami resmi bercerai satu setengah tahun lalu, istri saya yang sudah mantan itu telah menikah lagi dan tinggal di kota asalnya dulu,” kenangnya dengan sorot mata yang menyiratkan kepahitan dan kekecewaan mendalam.
Sambil menyalakan kembali rokoknya yang sempat mati, kawan lama yang jarang ketemu secara fisik ini menceritakan awal mula kejadian hingga terjadi perceraian. Ya, Masalah ekonomi, pekerjaan dan penghasilan selalu menjadi perdebatan kami. “Dari awal kami membangun usaha dengan modal bersama yang kami bawa sebelum menikah. Hasil usaha itulah yang kami pakai hidup sebagai keluarga dengan satu anak,” lanjutnya.
Masa pandemi yang terjadi beberapa tahun lalu menjadi masa terparah kami, pembeli berkurang dan otomatis pendapatan turun drastis. Demi kebutuhan hidup, kami terpaksa menyambungnya dengan menjual kendaraan dan beberapa barang rumah tangga yang kami miliki.
Dari kondisi ekonomi inilah memicu pelbagai pertengkaran. Menyalahkan dan menuntut hal yang sulit diwujudkan, hingga akhirnya membanding-bandingkan dengan keadaan rumah tangga orang lain yang dipantau melalui pelbagai media sosial.
Nah, membanding-bandingkan ini sebagai salah satu akibat dari lemahnya kesiapan mental serta kurangnya daya kritis terhadap media sosial (medsos). “Saya mengetahui itu karena istri saya seringkali ngomong dengan nada membandingkan,” kata kawan saya sambil meletakkan cangkir kopi yang baru diteguknya.
“Enak ya si A itu, setiap minggu selalu diajak ‘healing’ kemana-mana oleh suaminya yang ‘tajir itu’, dan bisa terus gonta ganti status di medsos,” jelas kawan saya menirukan salah satu dari sekian banyak curhatan mantan istrinya. Ya, seringnya melihat rumput tetangga yang nampak lebih hijau itu, akhirnya sang istri mencari kenalan laki-laki lain yang stok uangnya segudang.
Dari cerita yang dituturkan kawan semasa SMA, kita bisa manarik tiga pelajaran penting.
Pertama, kekayaan melunturkan keyakinan
Siapa sih yang tidak suka dengan kekayaan? Kita semua tentu sangat menyukainya, bukan? Karena itu kekayaan selalu dikejar meski dengan cara tidak benar. Saking bernafsunya dengan kekayaan, seseorang bisa bertindak keji. Bukankah orang yang dengan sengaja meninggalkan pasangan hidup dan anak kandungnya sendiri adalah kekejian?
Tidaklah salah mengejar kekayaan di kehidupan ini. Namun, janganlah itu dijadikan sebagai tujuan utama, sebab jika kekayaan seperti yang kita inginkan tidak tercapai, maka tujuan hidup kita turut hilang, bukan?
Kekayaan bukanlah jaminan kebahagiaan, justru kekayaan bisa membuat kita terjatuh dalam pelbagai dosa. Faktanya banyak umat Tuhan jatuh karena hanya mengejar kekayaan. Kekayaan membuat seseorang meremehkan hal-hal rohani, karena kekayaan dapat menjerat kita untuk tidak lagi mensyukuri apa yang sudah kita miliki.
Kedua, media sosial membutakan akal
Sesuatu yang tidak menarik akan menjadi menarik jika dikemas secara menarik. Itulah yang nampak di media sosial, sehingga orang mudah dibuat tergiur dengan tampilan yang nampak secara visual itu. Dari kemasan tampilan, kemudian muncul pelbagai keinginan.
Ada dua sisi saat kita melihat aktivitas orang lain atau relasi yang kita kenal melalui aktivitas medsos. Pertama, sisi positif, yaitu kita bisa belajar dan termotivasi dari orang-orang yang telah berjuang dan meraih kesuksesan. Kedua, sisi negatif, yaitu ketika kemasan itu justru menimbullkan iri hati dan kemudian berujung pada membanding-bandingkan.
Sisi negatif inilah yang akhirnya membutakan akal. Dari membandingkan antara yang kita alami dengan apa yang kita lihat di dunia medsos, kemudian berkembang menjadi keinginan kuat mewujudkannya meskipun dengan cara-cara tidak benar, bahkan mengorbankan yang ada. Standar hidup tidak lagi ditentukan keadaan diri tetapi keadaan orang lain yang kelihatannya lebih wah.
Ketiga, godaan mengalahkan ikatan
Dari zaman Adam hingga zaman milenial, godaan selalu menjadi faktor utama kejatuhan manusia. Ya, manusia jatuh dakam dosa karena hasil godaan dari si setan. Godaan itu semakin besar jika memiliki alasan pembenar yang kuat dan kelihatan masuk akal.
Adam dan Hawa rela kehilangan ikatan dengan Tuhan karena lebih memilih godaan menggiurkan yang ditawarkan ular. Sebagai manusia, kita pun seringkali membuat keputusan salah, bukan? Banyak godaan di sekitar kita, baik yang kelihatan langsung maupun secara visual melalui media sosial dapat merontokkan ikatan yang sudah lama kita bangun.
Dua puluh tahun bukanlah waktu singkat untuk kita memperjuangkan sebuah ikatan. Sudah berapa banyak pengorbanan yang kita lakukan, berapa banyak kita melewati kesedihan yang sempat melunturkan semangat kita, dan berapa banyak kesenangan serta kegembiraan mewarnai kehidupan kita?
Bukan waktu yang menentukan kualitas hidup kita, tetapi bagaimana menentukan diri sendiri menjadi seperti yang kita inginkan melalui apa yang Tuhan berikan di hidup kita. Mensyukuri apa yang ada pada kita, karena itulah kekuatan sejati.
Berjuanglah dengan apa yang sudah diberikan Tuhan, nikmatilah apa yang ada pada kita, sehingga disetiap godaan yang ada kita mampu mengatasinya.
Kuat lemahnya hubungan kita dengan pasangan bergantung pada sikap hati yang mendasari fondasi sebuah relasi. Makin kuat fondasi, makin kuat kita bertahan di segala situasi. Dan fondasi yang kuat adalah melakukan kehendak Tuhan.