Keluarga adalah unsur terkecil, sekaligus pilar dari sebuah negara. Tidak berlebihan pula jika keluarga disebut sebagai pilar gereja. Bagaimana keluarga Kristen dibentuk, dibangun dan dibina? Tentu turut memengaruhi pertumbuhan keluarga besar gereja.
Kalau keluarga-keluarga menjadi harmonis, paling tidak komunitas gereja juga akan harmonis. Keluarga yang harmonis ini akan mengejawantahkan citra harmonis dalam pekerjaan, usaha dan lingkungan masyarakat. Idealnya akan memberi andil kepada kehidupan berbangsa.
Kembali ke Masterplan
Bicara tentang keluarga Kristen, tentu kita tidak bisa sembarangan. Keluarga Kristen bukan dibentuk karena cinta buta atau coba-coba dulu melalui nikah kontrak. Keluarga Kristen dibentuk karena Tuhan memang punya panggilan khusus untuk setiap keluarga.
Keluarga diciptakan Allah dari dua insan yang unik, berbeda kodratnya tetapi dengan satu tujuan ilahi (Divine purpose) untuk menjadi satu kesatuan. Kesatuan dalam perbedaan yang saling mengasihi dalam interaksi dan inter relasinya. Karena itu keduanya tidak pernah berhenti dari proses belajar untuk mengerti pasangannya.
Selain mengemban tujuan ilahi, manusia juga adalah Imago Dei, dicipta segambar dan serupa dengan Allah. Kalau Allah memiliki sifat ‘kasih setia’, maka kasih setia itu juga harus dipancarkan dalam kehidupan pasangan suami-istri (pasutri). Artinya tidak cukup dengan unsur mengasihi, tetapi juga harus setia.
Manusia memang cenderung berubah, dan orang percaya tentunya harus berubah menjadi lebih baik. Dalam konteks keluarga Kristen, yaitu bertumbuh kearah yang lebih baik untuk memuliakan Tuhan. Keduanya harus memiliki komitmen bersekutu dengan Tuhan untuk memohon pimpinan Tuhan dalam kehidupan keluarga. Suami istri harus menjadi teladan keharmonisan bagi anak-anak. Dengan demikian keluarga yang harmonis akan berfungsi sebagai garam dan terang bagi sekitarnya, sekaligus memberkatinya.
Tantangan Akan Selalu Ada
Harus diakui, kemajuan teknologi mendorong peningkatan kebutuhan orang. Situasi zaman postmodern ini memicu orang untuk mengejar materi yang dikaitkan dengan waktu sehingga mottonya “time is money”. Berangkat dari filosofi ini manusia makin materialis dan individualis. Jadi betul kalau dalam 1 Timotius 6:10a dituliskan: “Karena akar segala kejahatan adalah cinta uang”. Uangnya sendiri netral, artinya tidak baik dan tidak jahat. Tergantung bagaimana kita menyikapi dan memakainya.
Sekarang ini muncul akronim yang menggambarkan etos kerja yang tidak efektif sebagai P7: Pergi pagi pulang petang, pendapatan pas-pasan. Yang terakhir ini mengenai masalah uang lagi. Akibat situasi ini, tidak ada waktu lagi untuk dialog atau ngobrol antar pasutri, ortu dengan anak-anaknya. Yang terjadi sekarang hanya obrolan seperlunya, masing-masing sibuk sendiri.
Kondisi ini memicu anggota keluarga makin mementingkan diri sendiri. Padahal anggota keluarga itu unik, tidak ada satupun yang sama. Jadi mestinya sebuah keakraban dan kebersamaan mutlak diperlukan. Tentu semuanya berdasarkan kesepakatan yang mengalir, bukan dirancang secara kaku.
Keharmonisan dimungkinkan kalau keluarga bisa bercanda, berbagi pengalaman keseharian. Dari situ mereka belajar mendengarkan dan memahami satu dengan yang lain. Ini kunci penyesuaian untuk saling mengerti dan kemudian saling menghargai.
Ada Kalanya Masalah Menjadi Makin Besar
Kalau komunikasi tidak terjalin dengan baik, lalu masing-masing kukuh dengan egonya, bisa-bisa keluarga tidak lagi menjadi komunitas yang harmonis. Kalau terus dibiarkan, masalah akan melebar dan bertambah besar, krisis ada di depan mata. Anggota keluarga saling menjauhi, tidak lagi berkomunikasi dengan santun dan lembut. Lebih fatal lagi kalau menjauh dari kasih karunia Allah.
Dua hal ini memicu timbulnya rasa hampa yang berakhir dengan kepahitan. Akar pahit yang tidak segera ditangani akan menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang. (Ibrani 12:15). Ada baiknya pasutri segera berkonsultasi pada rohaniwan atau konselor, kalau upaya berdua menyelesaikan masalah kurang berhasil.
Efek fatal yang ditimbulkan kalau pasutri bertengkar di depan anak-anak. Lebih ekstrem kalau keduanya mengatakan sudah tidak cocok dan lebih baik berpisah. Nah, ini kata tabu yang tidak ada dalam kamus keluarga harmonis.
Way Through, Bukan Wayout
Lalu bagaimana supaya masalah tidak melebar, dan bisa diselesaikan? Kembali pada fokus masalah dan jangan melebar kepada masalah lain. Tidak mengungkit persoalan masa lalu dan tidak menuduh pihak lain. Hindarkan memakai kata “selalu” waktu menyatakan perasaan kepada pihak lain. Jangan biarkan beda pendapat yang berkelanjutan. Kunci harmonisasi adalah “give and take” sebagai proses pembelajaran yang tidak pernah selesai.
Perselisihan dan percekcokan harus segera diakhiri seperti dalam Firman Tuhan: “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa, janganlah matahari terbenam sebelum amarahmu” (Efesus 4:26a). Nah, ayat ini sekaligus mengingatkan orang yang suka memaki-maki kalau sedang marah. Ini seperti bensin yang siap tersulut dengan api kemarahan. Lebih baik cari air kedamaian supaya segera padam yaitu dengan berdoa, minta Tuhan memberi kemampuan untuk penguasaan diri masing-masing.
Keterbukaan juga menjadi langkah penyelesaian masalah. Kita harus terbuka menyampaikan perasaan. Perasaan itu netral, asal tidak disertai emosi dan tuduhan kepada pasangan. Fokuskan pada masalahnya, bukan pada orangnya. Pahami perasaan pihak lain, temukan solusi yang berimbang (win win solution). Katakanlah maaf bila ada kekeliruan. Lalu nyatakan bahwa masalah sudah selesai di situ disertai salah satu sentuhan (body language) yang bermacam-macam sebagai tanda kasih. Mungkin disertai dengan kata verbal akan jauh lebih baik.
Selain langkah-langkah tadi tentu Firman Tuhan adalah dasar utama dalam sebuah keluarga. Kebiasaan kembali ke Firman Tuhan ini akan menciptakan keseimbangan yang dinamis antara keluarga, pekerjaan dan pelayanan.
Jangan menjadikan fokus pelayanan sebagai satu-satunya panggilan. Membina keluarga itu panggilan dari sono-nya, artinya apa makna pernikahan Kristen menurut Firman Tuhan. Itu prioritas utama. Sungguh ironis jika pelayanan di gereja hebat, tapi keluarga rapuh. Atau pekerjaan sukses, tapi keluarga berantakan. Karena itu harus ada keseimbangan yang dinamis.


