Program Makan Gratis di sekolah pada dasarnya adalah basis humanisasi pendidikan. Dalam psikologi Humanisme versi psikolog humanisme Abraham Maslow, pada diri setiap manusia terdapat sejumlah kebutuhan, dari paling rendah sampai paling tinggi.
Kebutuhan paling mendasar adalah kebutuhan merasa kenyang dan sehat. Jika kebutuhan merasa kenyang dan sehat sudah terpenuhi minimal, akan muncul kebutuhan rasa aman. Jika kebutuhan rasa aman sudah terpenuhi minimal, akan muncul kebutuhan kasih sayang. Jika kebutuhan kasih sayang sudah terpenuhi minimal, akan muncul kebutuhan penghargaan. Jika kebutuhan penghargaan sudah terpenuhi minimal, akan muncul kebutuhan tertinggi, yakni aktualisasi diri.
Bagi psikologi humanisme, pendidikan adalah proses aktualisasi diri, sebagai kebutuhan tertinggi. Karena itu, kebutuhan-kebutuhan di bawahnya mesti dipenuhi secara minimal, agar sampai ke kebutuhan tertinggi tersebut.
Kebutuhan minimal tiap orang berbeda. Dalam hal kebutuhan makan misalnya, ada yang makan lima sendok nasi sudah merasa kenyang, ada yang tiga piring, baru merasa kenyang. Demikian juga dalam hal rasa aman, ada yang merasa aman menerbangkan pesawat terbang, ada yang naik sepeda pancal saja, tidak cukup berani.
Dengan kata lain, hendak dikatakan di sini bahwa pendidikan yang efektif dan efisien versi psikologi humanisme adalah pendidikan berbasis bakat setiap siswa. Merujuk contoh yang telah dikemukakan di atas, ada yang sangat berbakat menjadi pilot, ada yang tidak cukup berbakat. Rumus sederhana pendidikan versi psikologi humanisme sebagai berikut: kenali bakat siswa, jadikan minat, dan mulailah pendidikan dari sana.
Psikologi Behaviorisme Versus Psikologi Humanisme
Dalam dunia akademik pendidikan, minimal dikenal dua aliran psikologi. Pertama, behaviorisme, dan kedua humanisme. Psikologi behaviorisme lahir terlebih dahulu, sekitar tahun 1.800-an dan dikembangkan berdasarkan hasil penelitian terhadap hewan. Salah satu tokohnya, misalnya Pavlov {1849-1936} yang meneliti anjing, dan menghasilkan teori pendidikan tentang stimulus, respon, dan asosiasi. Secara sederhana psikologi behaviorisme menghasilkan dua teknik utama dan mendasar dalam pendidikan, yakni hadiah dan hukuman. Jika siswa melakukan hal positif, ia diberi hadiah, sedangkan ketika melakukan hal negatif, ia dihukum.
Manusia memang punya sisi hewani. Karena itu, hadiah dan hukuman layak digunakan secara konsisten dan proporsional. Tapi manusia tetap manusia dengan keunikannya masing-masing. Keunikan-keunikan tersebut mesti dihargai.
Sayang seribu sayang, karena psikologi behaviorisme hadir terlebih dahulu, sekaligus hadir bersamaan dengan penjajah di negeri ini, praktis hadiah sebagai bagian psikologi behaviorisme jarang digunakan, termasuk di dunia pendidikan sekolah. Hukumanlah yang paling sering digunakan. Bahkan bukan hanya di sekolah yang menerapkan pendidikan berbasis hukuman. Pendidikan di keluarga dan lembaga agama pun demikian.
Jika psikologi behaviorisme lahir pada tahun 1800-an berdasarkan hasil penelitian terhadap hewan, dengan hukuman sebagai alat utama pendidikan, tidak demikian halnya dengan psikologi humanisme. Psikologi ini lahir tahun 1950-an berdasarkan hasil penelitian terhadap orang-orang baik versi banyak orang dan masyarakat yang sehat secara antropologi. Salah satu tokoh utamanya adalah Abraham Maslow {1908-1970}. Lewat penelitiannya, Maslow menghasilkan psikologi humanisme sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Implementasi Program Makan Gratis
Singkat kata, jika kita berharap agar program ‘Makan Gratis’ di sekolah berdampak positif bagi dunia pendidikan sekolah, maka buatlah siswa merasa aman, karena hanya siswa yang merasa kenyang, yang akan mengejar rasa aman. Setelah itu, buatlah siswa merasa disayang, karena hanya siswa yang merasa aman yang akan membutuhkan rasa disayang. Setelah itu buatlah siswa merasa berharga, sebab hanya siswa yang merasa disayang yang akan membutuhkan perasaan dihargai. Setelah itu, buatlah mereka beraktualisasi, karena hanya siswa yang merasa berharga, yang akan membutuhkan aktualisasi diri.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tentang aktualisasi diri, perlu diketahui bakat siswa, menjadikan bakat tersebut sebagai minat, dan dari sana pendidikan dimulai. Untuk itu pemerintah perlu menyediakan dana abadi untuk pengadaan tes bakat anak secara nasional dan sejak dini.
Dalam bincang-bincang penulis dengan sejumlah pihak, ternyata tidak semua pihak setuju dengan program makan gratis. Ada kenalan dari Papua yang mengatakan, di wilayah Papua, ada daerah yang makanan bergizinya melimpah di hutan, dan lebih dari cukup sebagai makanan bergizi. Sementara di Malang, seorang kenalan penulis yang tinggal di desa, lulusan S1 perawat, juga mengatakan hal yang relatif sama. Kata mereka, masyarakat di daerah mereka tidak butuh makanan bergizi, tapi uang yang cukup untuk membayar aneka pungutan pendidikan oleh sekolah.
Program Makan Gratis dapat menjadi basis humanism pendidikan jika diimplementasikan dengan memperhatikan kebutuhan siswa secara menyeluruh. Dengan memahami psikologi humanism dan mengenali bakat siswa, kita dapat menciptakan pendidikan yang efektif dan efisien.
(Anselmus JE Toenlioe, Dosen dan Wakil Ketua 1 STIPAK Duta Harapan Malang)


