HomePernak-Pernik KeluargaMemahami Pasangan Apa Adanya

Memahami Pasangan Apa Adanya

“Apakah pernikahan kami masih dapat dipertahankan?” Pertanyaan itu sering terlontar dari mulut laki-laki atau perempuan yang mengalami pergumulan berat dan menyakitkan dalam hidup pernikahan. “Kalau sudah tidak ada cinta, untuk apa pernikahan kami diteruskan?” Benarkah sudah tidak ada cinta? Atau cinta itu pudar?

Sebuah kalimat lama menyatakan, “memahami pasangan apa adanya.” Ya! Itulah kata kunci utama yang harus ada agar cinta tidak pudar. Yakni, suami memahami istrinya apa adanya. Demikian juga, istri memahami suaminya apa adanya. Tidak lebih tidak kurang!

Istri perlu memahami bahwa laki-laki pada umumnya mencemaskan aspek finansial dan seksual dalam hidup pernikahan. Artinya, perasaan bahwa ia telah gagal dalam dua hal ini dapat membuatnya depresi. Nah, kalau itu terjadi, ia mungkin berkompensasi dengan cara berubah menjadi kasar, atau bahkan menarik diri dan hidup bak pertapa di keluarganya sendiri.

Suami juga perlu memahami bahwa perempuan dalam bertindak dan mengambil keputusan pada umumnya dikuasai emosi. Ia mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan emosi dan peka terhadap emosi yang dirasakan. Selain natur bawaan sejak lahir, hal itu juga diperkuat oleh pendidikan yang diterima dari orang tua, yang memberi banyak kebebasan anak perempuan untuk mengekspresikan emosi, sedangkan anak laki-laki tidak.

Suami bijaksana akan berupaya sekuat tenaga untuk menambah kepekaan terhadap emosi dan memperkaya ketrampilan menyalurkan emosi secara sehat. Kepekaan suami terhadap hal-hal yang bersifat emosi akan menolong mengerti apa yang dialami istrinya. Jangan sekalipun berkomentar, “Baru begitu saja sudah emosi!” kepada istri Anda. Komentar seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan mengobarkan kejengkelan dan kemarahan istri karena merasa tidak dipahami.

Memahami pasangan Anda apa adanya berarti menghargai dan menerima dia. Pada waktu kita sedang berpacaran dan terbuai dalam amukan gelombang asmara, mudah bagi kita untuk melihat hal-hal menawan dalam diri pasangan kita. Untuk hal-hal yang menawan itu kita menghargai dia. Namun, serentak berjalannya waktu, kita mendapati banyak hal yang tidak kita sukai dalam diri pasangan kita, sehingga mengalami kesulitan menghargai pasangan kita.

Justru pada waktu seperti itu kita perlu belajar menerima pasangan kita, utuh termasuk semua kelemahannya. Tentu saja penerimaan itu perlu kita lakukan secara sukarela, bukan terpaksa. Menerima dengan terpaksa dapat menyebabkan timbulnya kepahitan, kebencian, rasa tertindas. Sebaliknya, menerima secara sukarela menciptakan suasana kelegaan, kemerdekaan dan kemandirian.

Seorang suami bercerita bahwa istrinya sering mengucapkan kata-kata sangat menyakitkan,  seperti, “Aku sudah muak hidup bersamamu! Kamu laki-laki yang tidak berharga sama sekali. Aku menyesal mengapa dulu tidak menikah dengan si Anu.”

Apakah ini merupakan sinyal bahwa cinta sang istri pada suaminya sudah tiada? Ah, sebaiknya jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Lebih bijak apabila kita mencari tahu lebih dulu latar belakang terlontarnya kata-kata yang tidak pantas itu. Kapan kata-kata yang buruk itu diucapkan? Dalam kondisi apakah sang istri mengucapkan kata-kata itu? Apakah ia mengucapkannya dengan penuh kesadaran? Apakah memang hal-hal yang diucapkannya itu persis seperti yang dikehendakinya?

Tidak jarang terjadi, istri yang pada saat marah “slip of tongue” melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati suaminya, ternyata adalah istri yang baik. Sungguh! Pernah pula seorang istri mengeluhkan suaminya yang berkali-kali berselingkuh. Bahkan dengan perempuan yang wajahnya lebih jelek dan status sosialnya sangat rendah.

Apakah ini juga sinyal bahwa cinta sang suami pada istrinya sudah lenyap? Ah, sebaiknya juga jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Lebih bijak apabila kita mencari tahu apakah sang suami sengaja mau menghancurkan rumah tangganya sendiri atau tidak. Apakah ia berselingkuh karena kekosongan dalam jiwanya atau karena kebutuhan untuk diterima. Atau, apakah karena ia belum dapat mengontrol dan membuang kebiasaan lamanya.

Agar Cinta Tidak Pudar

Bangunlah dari ilusi yang menggambarkan sesuatu yang indah-indah saja dalam hidup; bahwa kita adalah pasangan harmonis, yang tidak memiliki perbedaan-perbedaan. Itu tidak benar! Dari awal sebenarnya kita sudah tidak harmonis karena perbedaan-perbedaan yang ada. Tugas kita justru menyerasikan diri dengan pasangan kita secara terus menerus.

Janganlah berilusi bahwa keharmonisan terjadi secara otomatis. Itu harus diperjuangkan! Hubungan suami istri merupakan sesuatu yang perlu dipelihara dan dijaga terus menerus. Tatkala suami dan istri berhenti menjaganya, pasti akan timbul keretakan dalam hubungan mereka. Ketidak-harmonisan pada hari ini merupakan peluang terjadinya ketidak-harmonisan pada hari esok.

Janganlah pula berilusi bahwa pernikahan Anda bebas dari konflik. Konflik pasti timbul, terutama ketika kita berada dalam situasi yang baru. Sesiap-siapnya kita mengantisipasi keadaan tersebut, konflik tetap akan muncul. Tidak perlu takut terhadap konflik. Hadapilah dengan berani dan bijaksana.

Kita perlu membedakan antara cinta dan perasaan menyenangkan yang timbul ketika kita berkumpul dengan pasangan. Memang cinta menimbulkan perasaan menyenangkan ketika kita berkumpul dengan pasangan. Tetapi perasaan menyenangkan itu belum tentu merupakan manifestasi cinta. Dan perubahan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan belum tentu merupakan bukti sudah hilangnya cinta.

Mencintai tidaklah sama dengan kebutuhan untuk dicintai. Mencintai adalah memberi diri. Orang yang mencintai ingin memberikan sesuatu yang baik yang ia punyai demi untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Sudahkah Anda mencintai pasangan apa adanya dan bukan ada apanya?

(Pdt. Em. Herodion Pitrakarya Gunawan)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments