HUMOR merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah kehidupan manusia. Sosiolog Peter Berger, dalam bukunya Redeeming Laughter (hal. x), bahkan menyatakan bahwa tidak ada satu pun budaya manusia yang tidak memiliki humor di dalamnya. Terkait dengan Alkitab, kenyataan ini tentu mendorong munculnya sebuah pertanyaan kritis: bila memang humor adalah bagian yang integral dalam hidup dan karya manusia, adakah humor dalam Alkitab?
Mayoritas umat maupun cendekiawan Kristen ternyata memberi jawaban negatif terhadap pertanyaan tersebut. Salah satu contohnya ialah Hans von Campenhausen, seorang teolog kenamaan dari Jerman. Dalam sebuah karya bertajuk Christentum und Humor (hal. 76), dia berpendapat bahwa di dalam Alkitab tidak ada humor dalam arti sebenarnya.
Apa yang bisa ditemukan dalam Alkitab, menurut dia, hanyalah rangkuman sukacita hati yang merupakan ciri-ciri iman. Selain Campenhausen, Alfred N. Whitehead, Ralph Wood, W. Phelps, dan John Morreall adalah beberapa contoh lain para pemikir yang memberi jawaban negatif terhadap pertanyaan di atas.
Berbeda dengan para sarjana tadi, dalam tulisan ini penulis mencoba menunjukkan bahwa Alkitab ternyata sangat mungkin mengandung humor. Penulis menggunakan diksi “sangat mungkin” (probably) sebab studi humor bukanlah studi eksakta, melainkan studi interpretatif.
Akibatnya, ketika seorang penafsir berpendapat bahwa sebuah bagian Alkitab mengandung humor, tentu saja derajat keyakinannya akan berbeda dengan saat ia mengatakan bahwa satu ditambah satu (dalam konteks perhitungan desimal!) adalah dua! Apa yang bisa seorang penafsir humor nyatakan ialah bahwa dengan berdasar pada sebuah teori humor tertentu, sebuah bagian Alkitab yang dibahas sangat mungkin mengandung unsur humor.
Penulis akan menghindari beragam diskusi kompleks dan teknis seputar studi humor dalam Alkitab, dan hanya akan berfokus pada dua hal penting, yakni (i) definisi tentatif mengenai humor dan (ii) beberapa bentuk humor dalam Alkitab serta contohnya. Di akhir tulisan, penulis akan merekomendasikan beberapa bacaan lanjutan seputar humor dalam Alkitab.
Apa itu Humor?
Diskusi mengenai sifat dasar atau natur humor memang tidak pernah menjadi diskusi yang mudah, sehingga tidak mengherankan bila para sarjana Alkitab cenderung menghindari diskusi ini dan memilih memberi pengertian minimal mengenai humor. Beberapa sarjana yang lain (misalnya Michael Rogness, John Reid, Yehuda Radday) bahkan menganggap humor sebagai sesuatu yang hanya bisa dinikmati, namun tidak untuk didefinisikan.
Mendefinisikan humor memang bukan tugas mudah. Walau begitu, kita tetap memerlukan sebuah definisi tentang humor, meskipun sifatnya tentatif. Sebab bila tidak, maka studi humor dalam Alkitab akan menjadi sangat subyektif, yakni hanya mencerminkan selera humor dari penafsir. Di antara pelbagai pilihan definisi yang ada, penulis memilih menggunakan teori humor yang paling dominan dalam studi psikologi dan filsafat, yakni teori keganjilan (the incongruity theory). Harus diakui, teori ini merupakan teori yang paling informatif dan menjanjikan dibanding teori humor lainnya.
Secara sederhana, teori ini berpendapat bahwa manusia belajar dari pengalaman mereka dan menciptakan sebuah pola dari pemahaman mereka atas pengalaman tersebut. Manusia tahu bahwa api itu panas, salju itu dingin, dan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk terbang karena mereka membuat pola dari pengalaman mereka. Humor terjadi, menurut teori ini, ketika pola tersebut dilanggar atau ketika ekspektasi, yang didasarkan pada pola yang dipelajari tersebut, ternyata tidak terjadi.
Meski demikian, keganjilan semata tidak otomatis menyebabkan seseorang merasa terhibur. Nyatanya, tidak ada seorang pun yang akan menganggap keganjilan yang berbahaya untuk dirinya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Beberapa pendukung teori ini kemudian menambahkan satu aspek lagi untuk memperkuat teori ini, yakni aspek “keamanan” (safeness) atau “non-serius.” Ketika sebuah keganjilan bersifat aman atau non-serius, maka seseorang tentunya lebih bisa menikmati keganjilan tersebut. Dengan kata lain, keganjilan itu akan terlihat menyenangkan dan bukan mengerikan.
Dari pengertian ini, kita bisa mendefinisikan (secara tentatif) bahwa humor ternyata terkait erat dengan ide, gambar, teks, atau peristiwa yang ganjil dan aman atau non-serius, sehingga hal tersebut menjadi menyenangkan dan bisa dinikmati.
Beberapa Bentuk dan Contoh
Dari pemahaman mengenai keganjilan sebagai elemen dasar humor, kita bisa menemukan bahwa keganjilan bisa terwujud dalam berbagai bentuk. Meski demikian, di sini penulis hanya akan memperkenalkan empat bentuk saja.
Pertama, ironi. Ironi mengandung keganjilan sebab dalam ironi terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Meski tidak semua ironi secara otomatis menghasilkan tawa, beberapa ironi yang dicatat dalam Alkitab berpotensi menimbulkan senyum. Salah satu contohnya ialah sebuah adegan dalam perumpamaan tentang pengampunan.
Di awal perumpamaan, kita diperkenalkan pada seorang hamba yang berhutang dalam jumlah yang sangat besar (ay. 24). Ketika sang raja akan menjual semua miliknya sebagai pembayar hutang, hamba ini memohon pada sang raja agar dia diberi tambahan waktu untuk melunaskan segala hutangnya. Permintaan hamba ini sebenarnya menunjukkan sebuah ironi yang konyol, mengingat jumlah hutangnya yang besar tadi. Tambahan waktu mungkin akan memampukan dia membayar sebagian kecil dari hutangnya; tetapi mengatakan bahwa dia akan membayar segala hutangnya hanya menunjukkan sebuah keputusasaan yang konyol!
Kedua, hiperbola. Hiperbola kerap menampilkan keganjilan melalui deskripsi atau ilustrasi yang fantastis. Menariknya, Yesus beberapa kali menggunakan humor dalam bentuk hiperbola. Salah satu contoh yang terkenal ialah Matius 7:4-5 mengenai selumbar di mata orang lain dan balok di mata diri sendiri. Selain itu, perkataan Yesus mengenai ‘unta masuk lubang jarum’ (Matius 19:24) juga menampilkan humor dalam bentuk yang sama (catatan: penulis menolak interpretasi yang menyatakan bahwa ‘lubang jarum’ di sini merujuk pada sebuah pintu kecil, sebab secara historis keberadaannya tidak pernah terbukti. Bahkan, sejauh yang penulis tahu, tidak ada sarjana Perjanjian Baru yang kredibel memegang interpretasi demikian).
Ketiga, paronomasia atau permainan kata. Sudah jamak diketahui permainan kata merupakan salah satu bentuk humor yang umum. Itu sebabnya kita tertawa ketika mendengar ‘globalisasi’ diplesetkan menjadi ‘gombalisasi’ atau ketika ‘demokrasi’ disitir menjadi ‘democrazy.’ Hal yang sama juga berlaku dalam Alkitab. Beberapa permaian kata dalamnya sangat mungkin mengandung potensi humor.
Salah satu contohnya ialah nama Yabes dalam 1 Tawarikh 4:9. Nama ini kemungkinan merupakan permainan kata dari kata ‘kesakitan’. Pemberian nama ini sangat mungkin terasa menggelikan bagi para pembacanya. Menggunakan analogi masa kini, ini seibarat seorang ayah yang memberi nama anaknya ‘Habisum’, kebalikan dari kata ‘musibah,’ atau seorang ibu yang menamai anaknya “Lanengsa” dari kata ‘nelangsa.’
Keempat, skenario yang menggelikan. Alkitab ternyata mencatat bahwa humor juga beberapa kali muncul dalam bentuk skenario yang menggelikan. Salah satu contohnya ialah nasihat Yesus di Matius 5:23-24. Secara geografis, Yesus menyampaikan kotbah-Nya di area Galilea. Bila demikian, itu artinya Dia mengajar orang-orang Galilea bahwa bila mereka mempersembahkan korban kepada Allah di Yerusalem dan tiba-tiba mereka mengingat bahwa mereka memiliki masalah dengan saudaranya, maka mereka harus meninggalkan mezbah dan kembali ke Galilea (yang jaraknya sekitar 100 Km dari Yerusalem) untuk berdamai lebih dahulu.
Bila dilakukan secara literal, nasihat ini akan menghasilkan gambaran yang jenaka. Gambaran seorang pria yang tiba-tiba meninggalkan persembahannya serta membuat imam serta orang Yahudi lainnya kebingungan, atau gambaran imam dan antrian panjang orang Yahudi yang menantikan kembalinya orang tersebut selama beberapa hari, berpotensi memicu tawa.
Kekristenan tradisional memang meyakini bahwa Alkitab merupakan sebuah kitab yang ilahi, yakni sebagai Firman yang diwahyukan Allah. Akan tetapi, Kekristenan tradisional juga meyakini bahwa Alkitab juga memiliki natur insani: Allah tidak serta merta menjatuhkan kitab ini dari langit, melainkan menggunakan empat puluhan orang untuk menghadirkannya.
Sayangnya, pembacaan orang Kristen selama ini terlalu sering mengabaikan aspek ini. Melalui tulisan ini, penulis hendak menggugah para pembaca untuk lebih menghargai aspek insani Alkitab, khususnya humor di dalamnya. Telah cukup lama humor diam di dalam Alkitab, menanti untuk ditemukan dan dikenali; dan kini sudah waktunya pembaca modern dengan lebih serius mencoba mengenali hiburan tersembunyi ini dan menikmatinya.
(Ev. Stefanus Kristianto)