HomeGereja & MisiPembaharuan Terjemahan Baru Alkitab Edisi 2

Pembaharuan Terjemahan Baru Alkitab Edisi 2

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Ngagel Surabaya bekerjasama dengan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menggelar Webinar Sosialisasi Pembaharuan Terjemahan Baru Edisi 2 pada Kamis, 30 Juni 2022. Acara ini juga merupakan webinar spesial GKI Ngagel di Minggu kelima bulan Juni 2022.

Terkait penerjemahan Alkitab ini menjadi percakapan sehari-hari baik bagi gereja maupun umat Kristen. Karena itu meski dilakukan secara online, acara ini menarik banyak umat mengikuti serta mengajukan pelbagai pertanyaan seputar terjemahan baru tersebut.

Pembicara Jadesmon Saragih, M.Theol., Pembina Penerjemahan LAI menjelaskan alasan mengapa Alkitab kita perlu diperbarui. Antara lain, bahwa Alkitab Terjemahan Baru (TB) yang kita pakai sudah tidak lagi baru, TB terbit pada tahun 1974, pengerjaannya dimulai sejak 1952 di bawah pengawasan Nederlandsch Bijbel Genootschap (NBG). Pada 1958 gabungan PL Klinkert (1879) dan PB Bode (1938) diperkenalkan demi menjawab kebutuhan kala itu akan Alkitab lengkap. Edisi “darurat” ini dikenal sebagai Terjemahan Lama (TL) yang masih merupakan Alkitab bahasa Melayu. Sedangkan TB dalam bahasa Indonesia modern sedang dipersiapkan.

“Bahasa Indonesia tidak sama lagi dengan bahasa Melayu yang digunakan sebelumnya. Terjemahan Bode merupakan suatu kemajuan luar biasa. Namun, ungkapan-ungkapan yang berasal dari terjemahan Melayu yang lama sengaja/terpaksa dipertahankan. Misal, kata “kiranya” untuk mengungkapkan harapan, ini masih dipertahankan,” terang Jadesmon.

NBG bermaksud agar terjemahan dikerjakan secepatnya dengan berdasar pada terjemahan Belanda terkini waktu itu (Nieuew Vertaling, 1951). Namun, Dr. J.L. Swellengrebel, salah satu yang ditugaskan oleh NBG berpendapat, bahwa tidak mungkin menghasilkan terjemahan yang bermutu tanpa melihat langsung teks sumber bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani.

Menuju Terjemahan Yang Lebih Baru

Upaya penyempurnaan TB telah dimulai dengan revisi terbatas Perjanjian Baru. Ini dimulai 1986 dan terbit 1997. Pada 20-24 November 1995 Konsultasi dan Lokakarya Revisi Perjanjian Baru Terjemahan Baru di Cipayung, Jawa Barat. Kemudian dilanjutkan dengan PL pada tahun 1998. Deuterokanonika pada 2002 bersama Lembaga Biblika Indonesia.

Selanjutnya Jadesmon mengungkapkan empat alasan lain mengapa Alkitab perlu diperbarui. Pertama, perkembangan dalam bahasa penerima. Misal: “Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya.” (Yesaya 40:28 TB). Ada pergeseran makna menjadi, “Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terselami pengertian-Nya.” (TB-2).

Sedangkan dalam ejaan: “korban” (persembahan) menjadi “kurban”; “sorga” menjadi “surga”; “lenan” (kain) menjadi “linen”. Dalam diksi: “allah” menjadi “ilah”; “ganja” (satu struktur bangunan) menjadi “balok”; “perkara” menjadi “hal, perbuatan”; “bernga” menjadi “belatung”; “ipuh” menjadi “racun pahit”; “jalur keliling” menjadi “lis”; dan “angkatan” menjadi “generasi”.

Kedua, Perkembangan Penelitian Teks Sumber. Beberapa pertanyaan muncul, seperti terjemahan LAI kurang tepat? Dari mana sumbernya? Menilai kualitas terjemahan dilakukan dengan melihat apa yang dikatakan dalam edisi bahasa Ibrani, Aram, dan Yunani. Bukan membandingkan dengan terjemahan lain (Inggris, Jerman, dan lain-lain).

Mengapa ada terjemahan yang berbeda-beda? Ada perbedaan pendapat tentang varian tekstual mana yang diikuti. Setiap keputusan ada dasarnya, dan sulit untuk mengatakan yang satu benar dan yang lain salah. Kadang perlu mendokumentasikan persoalan terjemahan dan tekstual. Misal NET. Tentu, model ini tidak cocok untuk kebutuhan gereja.

Ketiga, Perkembangan Ilmu Tafsir. Misal kata “tsara’at” yaitu berbagai penyakit menular yang menyerang permukaan kulit sehingga menyebabkan semacam luka yang cukup dalam pada kulit. Terjemahan tradisional menyebutnya “kusta”. Namun, keliru mengidentikkannya dengan Hansen’s disease karena penyakit ini juga mengenai kain dan bangunan. Dalam TB-2 ditulis “penyakit kulit yang menular”.

Keempat, Perkembangan Ilmu Penerjemahan. TB-2 mencerminkan bahasa sumber dan konsistensi leksikal. Contoh: kata kerja “gur” diberi padanan yang berbeda-beda. Dalam TB-1: “tinggal sebagai pendatang” (Hak 19:1); “menetap sebagai pendatang” (2 Raj 8:1-2); “tinggal sebagai orang asing” (Kej 12:10). Dalam TB-2 lebih seragam, yaitu “tinggal sebagai pendatang”.

Ada pun tantangan yang dihadapi dalam penerjemahan ini, antara lain: Bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, mengantisipasi mental “anggur tua lebih enak”, perubahan detail dalam edisi revisi (TB-2) akan mudah terditeksi dibandingkan TB-1. Orang dapat segera menilai, lebih baik atau buruk. Dalam diskusi panjang lebar, sering hanya untuk mempertahankan yang lama.

Di sesi tanya jawab, pelbagai pertanyaan pun muncul, antara lain:

Tanya: Yang muncul yang mana dulu? Alkitab cetak atau elektronik?
Jawab: Bisa hadir dalam medium yang paling mudah diakses oleh umat. Bahwa Alkitab cetak masih punya tempat sendiri yang istimewa. Cetak atau elektronik tidak menggantikan yang satu dengan yang lain, atau yang satu lebih berbobot dari yang lain. Bahwa Akses teknologi tidak semerata yang kita bayangkan. Beberapa daerah masih tidak bisa mengakses atau menggunakan yang elektronik. LAI akan memprioritaskan Alkitab cetak, karena disamping masih ada orang yang membutuhkan, juga menjadi kepedulian sejak dulu. Program LAI yang berhubungan dengan penjangkauan yang jauh dari teknologi informasi maupun toko buku.

Tanya: Tentang arti pemberitaan Injil dalam 1 Petrus 3:19 dan Daniel 4:18
Jawab: Dari bahasa Yunani “Kerusso” yang berarti pewartakan/pengumuman/pemberitaan kepada khalayak lain. Dalam PB, kerusso diartikan sebagai kabar baik/ mengabarkan injil/pewartaan injil. LAI mengutamakan makna yang lebih keluar daripada hanya mengupayakan keseragaman atau istilah tertentu.

Tanya: Bagaimana menjelaskan Alkitan kepada saudara beda iman?
Jawab: Alkitab memiliki dua dimensi, dimensi Suara Tuhan (Firman Allah) dan dimensi insani, sosial, sejarah. Penerjemahan Alkitab perlu melihat dua dimensi ini. Manusia berkembang, pemahaman dan sejarah juga berkembang. Perlu ditekankan, perbedaan orang Kristen memahami Alkitan tentu beda dengan orang di luar Kristen.Tentu disampaikan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Indonesia.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments