UNTUK memahami makna revolusi mental sejatinya tak perlu melangit dalam pemahaman istilah yang njlimet dan rumit. Revolusi mental menyasar tiga area, yaitu mengubah mindset atau cara berpikir (mentalitas priyayi yang mau dilayani diubah menjadi berorientasi public service). Pemimpin hadir untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Berikutnya merampingkan struktur. Disadari sepenuhnya bahwa struktur membentuk sistem organisasi. Semakin ramping posturnya maka lebih efektif melayani fungsi. Hal tersebut mencegah duplikasi fungsi yang pada ujungnya lebih bersifat horizontal dan melayani fungsi untuk kesejahteraan masyarakat luas. Yang terakhir adalah perubahan kultur, budaya kerja disiplin, bertanggung jawab dan gotong royong ditekankan karena sejalan dengan DNA kultur masyarakat kita yang komunal.
Revolusi mental dimulai dari mana? Ibarat asal usul ayam dan telornya. Orang berdebat mana yang duluan. Revolusi mental juga dipertanyakan dari mana mulainya. Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia bahwa perubahan manusia harus ditempatkan dalam pengembangan dan pertumbuhannya manusia seutuhnya.
Psikolog ternama Erick H. Erikson menyatakan, bahwa manusia melewati tahapan-tahapan dalam pertumbuhannya. Dalam fase perpindahan tahapan senantiasa terdapat krisis yang terjadi. Keberhasilan manusia mengatasi krisis dalam satu tahapan kehidupannya, maka akan menjadi sumber kekuatan menjalani tahapan berikutnya.
Karena itu patut dikritisi jikalau istilah revolusi hanya dipahami sebagai “perubahan sosial dan kebudayaan” yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Kecepatan perubahan tidak bisa mengabaikan tahapan-tahapan kehidupan manusia. Jika hanya mengejar kecepatan namun mengabaikan prosesnya, maka revolusi mental akan gagal diwujudkan.
Manusia diketahui sebagai mahkluk yang holistik. Berdimensi fisik, jiwa, sosial dan spiritual. Manusia bukan seonggok daging bernyawa yang bisa dipindahkan dan digerakan oleh sebuah jargon semata. Maka proses revolusi mental harus disadari sebagai proses pembelajaran seumur hidup yang melibatkan seluruh keberadaan manusia, lingkungan masyarakat dan sosialnya secara terintegrasi. Dalam perspektif iman Kristen, kita memahami bahwa perubahan dan pembaharuan dimulai dari ranah personal.
Gereja sebagai agen perubahan
Perjumpaan manusia dengan Allah melalui iman kepada Yesus Kristus adalah titik awal revolusi kehidupan. Di dalam Kristus setiap orang yang percaya menjadi ciptaan baru (II Korintus 5:17). Kebaharuan personal tersebut ditempatkan dalam wadah komunal, dan gereja sebagai ibu jemaat menjadi ruang pembelajaran bahwa setiap orang percaya diperlengkapi dalam persekutuan, bersaksi dan melayani.
Gereja sebagai wadah komunal menjadi lingkungan yang bisa memperkuat dan menumbuhkan pembelajaran manusia baru tersebut menuju maksimalitasnya. Pada akhirnya area pembelajaran diperluas dalam masyarakat, sehingga manusia baru yang sudah direvolusi kehidupannya tersebut mampu menjadi agen perubahan.
Di sinilah sebenarnya dipertemukan agenda revolusi mental dapat di dukung oleh pengembangan sumber daya manusia dan perspektif iman Kristen untuk memberikan kontribusi arahan, daya dukung dan keteladanan. Sebuah karya besar harus dimulai dari langkah-langkah kecil, namun visioner dan konsisten.
Hal lain yang patut dipertimbangkan, bahwa penyadaran bersama dalam lingkup pluriformitas corak spiritualitas Kristen adalah keniscayaan yang tak bisa disangkali. Itulah sebabnya tak heran jika kita melihat corak ragam dan warna gereja berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi corak spiritualitas dan afiliasi denominasinya. Agenda besar revolusi mental adalah pekerjaan rumah bersama untuk dikerjakan serempak, bersinergi dan berkelanjutan yang seyogyanya dimulai dari ranah personal, komunal (lintas gereja), sosial (lintas iman).
Beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai upaya membangun kesadaran akan pentingnya revolusi mental adalah: menjadikan gereja sebagai wadah pembelajaran yang berorientasi pada pelayanan bukan saja kepada jemaat, namun juga kepada masyarakat umum.
Pelibatan jemaat dalam rangka pembelajaran tersebut harus dilakukan dalam sinergisitas dan sustainable. Struktur gereja sebagai organisasi juga perlu dibuka kran yang mewadahi partisipasi jemaat seluas-luasnya sesuai dengan kemampuan/talenta. Dengan demikian tidak bersifat birokratis melainkan melayani fungsi dan mewadahi talenta setiap jemaat.
Gereja sebagai bagian dari masyarakat ikut serta melakukan misi holistik dalam upaya melakukan penyadaran publik, sehingga nilai-nilai Kristen juga terakomodir dalam kebijakan-kebijakan strategis pemerintah. Dengan demikian gereja menjadi bagian yang menggerakkan terwujudnya revolusi mental kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 (Anil Dawan)