BEGITU duduk di perosotan raksasa sebuah wahana yang kami kunjungi, perasaan takut mulai menghinggapi pikiran saya. Maklum, dengan usia makin bertambah ini keberanian dan keseimbangan makin berkurang. Namun, karena harus menemani dua anak kami, saya pun memberanikan diri menaiki perosotan dengan ketinggian sekitar 30 meter tersebut. “papa takut ya?” celetuk kedua anak kami sesaat sebelum meluncur.
Sedangkan istri hanya tersenyum melihat tingkah saya yang nampak tegang itu. Benar saja, saat perosotan mulai meluncur saya langsung berpegangan erat pada kedua sisi bak plastik yang menjadi media seluncuran. Berbeda dengan kedua anak saya yang tertawa riang sambil berteriak keras.
Perasaan takut bagi masing-masing orang ternyata berbeda. Takut bagi sebagian orang belum tentu menakutkan bagi orang lain. Anak saya tidak takut menaiki wahana ini, karena bagi mereka adalah permainan yang menyenangkan. Hal sama juga dialami mereka yang menyukai olahraga ekstrim, seperti panjat tebing, terjun payung, bungy jumping, ski, dan lain sebagainya.
Mereka melakukan itu karena menyukai olahraga tersebut, bahkan makin ekstrim makin membuat mereka bersemangat mencobanya. Kalaupun terjadi hal-hal yang tidak dinginkan seperti kecelakan, mereka tidak gampang jera dan tetap melakukan kegiatan itu.
Ketakutan Itu Nyata
Saat kita takut itu menandakan bahwa kita masih waras. Bukankah dalam kehidupan ini kita sering berhadapan dengan hal-hal menakutkan? Ada ketakutan yang berdampak pada kekuatiran terus menerus, misalnya karena memilki harta berlimpah, orang menjadi sangat ketakutan kalau hartanya itu berkurang atau dicuri orang. Juga ada orang yang ketakutan karena belum mendapat jodoh, atau belum dikaruniai anak bagi pasangan yang sudah menikah. Ketakutan seperti ini biasanya makin membesar seiring bertambahnya usia.
Ada lagi ketakutan menghadapi masa depan, biasanya disertai pelbagai pertanyaan. Bagaimana perkerjaan saya nanti? Seperti apakah jodoh saya? Bagaimana hubungan rumah tangga saya ke depan? Bagaimana mendidik anak agar menjadi baik? Hingga apakah saya masuk sorga setelah meninggal dunia nanti?
Ketakutan yang berlebihan dapat membuat seseorang melakukan hal-hal nekat yang dapat membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Ketakutan juga bisa membuat orang putus asa sampai tidak mampu melakukan apa pun, hidupnya seakan berhenti sampai di situ saja. Jika sudah demikian, orang akan gampang menyerah ketimbang mencari solusi atas ketakutannya tersebut.
Kita sadar bahwa dunia yang kita tinggali ini bukanlah tempat aman dan ideal. Wabah, bencana alam, penyakit, kejahatan dapat merusak bahkan membinasakan hidup manusia. Dan nyarisnya, sehebat apa pun seseorang membentengi diri dengan kekayaan, kepandaian, ketenaran tidak juga bisa luput dari masalah hidupnya.
Di Setiap Ketakutan Selalu Ada Kebaikan
Lantas bagaimana kita seharusnya meghadapi ketakutan itu? Contoh berikut membantu kita menghadapi sebuah ketakutan. Ketika seseorang takut terhadap binatang kecoak. Apakah lantas kita harus melenyapkan semua kecoak yang ada di muka bumi ini? Saya kira tidak demikian, sebab bukan kecoaknya, tetapi diri kitalah yang harus dikuatkan agar tidak takut berlebihan terhadap binatang menjijikkan itu.
Seperti Covid-19 yang masih melanda ini. Kita tidak bisa melenyapkannya, bukan? Yang bisa kita lakukan adalah membentengi diri agar tidak terpapar. Ya, dibalik serangan virus yang menakutkan ini ternyata banyak membawa hikmat bagi banyak orang, misalnya hubungan antar anggota keluarga semakin dekat, banyak orang makin peduli dengan kesehatan dan kebersihan, makin peduli orang lain, makin melek teknologi karena serba daring, dan lain sebagainya.
Jadi bukan masalah yang harus dilenyapkan, tetapi kitalah yang memperkuat diri agar mampu menghadapi setiap masalah yang ada. Fokuskanlah hidup kita hanya kepada Tuhan yang mampu melenyapkan ketakutan kita. Bukankah dibalik setiap peristiwa yang membuat kita takut selalu ada pembelajaran, ketabahan dan ketaatan kita kepada-Nya?