HomeLintas Agama & BudayaDari Toleransi Menuju Dialog

Dari Toleransi Menuju Dialog

Jika hitam bukan​ warna. Dan putih memantulkan semua warna dari spektrum cahaya yang mampu ditangkap oleh mata. Mengapa kita marah bila berbeda?

Ada dua tempat di Indonesia yang pernah saya kunjungi, yaitu Bali dan Tanah Sunda. Sebagaimana kita tahu Bali adalah provinsi  dengan jumlah pemeluk agama Hindu terbesar di Indonesia. Agama Hindu meresap dalam kehidupan orang Bali, menyatu dengan adat istiadat, kehidupan sosial hingga pemerintahan.

Beda di Tanah Sunda atau yang disebut juga Jawa Barat. Ada semacam jargon yang pernah diungkapan tentang Sunda “Sunda teh Islam. Islam teh Sunda.” (red: Sunda itu Islam. Islam itu Sunda). Jika melihat agama mayoritas orang Sunda hari ini, barangkali jargon tersebut ada benarnya. Namun, jauh sebelum Hindu, Buddha, Kristen dan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat sunda tradisional telah menghidupi Sunda Wiwitan sebagai keyakinan hidup mereka.

Baru menyebut dua tempat saja, kita dapat melihat keragaman yang ada di Indonesia. Apalagi jika kita menelusuri setiap jengkal Indonesia. Di luar enam agama mayoritas (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), masih terdapat ratusan agama lokal yang sering disebut sebagai kelompok penghayat atau aliran kepercayaan.

Indonesia memang tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai negara agama. Namun harus diakui bahwa agama masih memiliki pengaruh dalam kehidupan bersama. Agama turut menentukan tafsir atas hukum, norma atau kebijakan yang mengatur kehidupan sosial-politik masyarakat.

Misalnya, ketika berbicara tentang wacana hukuman mati, undang-undang pornografi, pandangan agama turut mempengaruhi bagaimana hukum atau aturan itu dibuat. Penafsiran terhadap ajaran agama pun juga turut mempengaruhi pilihan-pilihan politis masyarakat. Kita dapat melihat bagaimana isu agama masih digunakan sebagai alat untuk menaikkan elektabilitas guna meraih dukungan politis.

Kecenderungan agama memegang kontrol dalam kehidupan bersama masyarakat mungkin tidak akan terlalu menimbulkan masalah dalam konteks masyarakat yang homogen. Sebaliknya dalam masyarakat yang heterogen, di mana terdapat beragam agama maupun aliran kepercayaan, hal ini justru sangat berpotensi menciptakan konflik, jika tidak disertai kemauan untuk melakukan diskursus yang terbuka.

Tantangan Fundamentalisme Agama

Agama seharusnya membawa manusia pada kebaikan sebab tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Setidaknya itulah yang diyakini setiap pemeluk agama. Meski faktanya dalam beberapa tahun ini, kita melihat bagaimana kekuatan agama dinampakkan dalam  wujud destruktif yang disertai tindak kekerasan. Hal ini dapat terjadi ketika para penganutnya memegang ideologi religius yang bersifat eksklusif dan totaliter. Sifat itu adalah wujud dari klaim atas kebenaran mutlak yang menuntut ketaatan total. Kita sering menyebutnya sebagai sikap fundamentalisme beragama.

Dalam sikap fundamentalisme, segala yang berbeda ditolak dan tidak diberi ruang. Bahkan sekali pun agamanya sama, jika penafsirannya berbeda tetap ditolak dan dianggap sesat. Sifat ini bisa ditemukan jejaknya pada setiap penganut agama mana pun.

Umat yang berdialog

Dalam konteks kekerasan atas nama agama yang merebak di banyak tempat, agama-agama ditantang untuk mengukuhkan kembali perannya dalam membangun hubungan-hubungan antar manusia. Apalah artinya beragama jika justru membawa manusia pada tindakan-tindakan destruktif yang menghancurkan kemanusiaan? Maka, setiap agama seharusnya punya tanggung jawab memaknai kembali hidup keagamaan.

Toleransi kerap dilihat sebagai jalan untuk menghindari gesekan atas nama agama di masyarakat. Dengan bersikap toleran, setiap orang berupaya untuk menghargai keyakinan, pandangan hingga laku keagamaan yang berbeda dengan dirinya. Dengan demikian setiap orang bebas menghidupi agamanya, tanpa mengganggu atau mencampuri urusan keagamaan orang lain.

Tetapi apakah toleransi saja cukup? Toleransi sering disamaartikan bahwa setiap orang hidup dalam lingkungan agamanya sendiri tanpa ada jembatan yang menghubungkannya dengan orang lain. Aku hidup dengan agamaku. Dan kamu hidup dengan agamamu. Maka, wujud dari toleransi seringkali hanyalah sebatas penerimaan dan pengakuan bahwa ada yang berbeda. Lebih dari itu, orang tidak saling tahu apa yang diimani masing-masing umat beragama.

Memang dengan demikian gesekan bisa dihindarkan. Namun di sisi lain, interaksi pun juga bisa tidak terjalin sama sekali. Keharmonisan yang terbentuk adalah sebuah keharmonisan semu. Sebab apa artinya harmoni jika tidak ada interaksi?

Relasi didasari cinta

Pepatah yang mengatakan, “tak kenal, maka tak sayang.” Maka, sebuah relasi yang didasari cinta kasih pada sesama baru bisa terwujud jika ada upaya saling mengenal. Tanpa upaya saling mengenal, kita rentan tumbuh dalam beragam a priori pada yang lain. Dibutuhkan sebuah proses berinteraksi yang di dalamnya tercipta komunikasi dua arah: dialog.

Saya teringat pada pengalaman seorang teman dari Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Pemberitaan-pemberitaan mengenai Islam di Indonesia yang didapatnya dari media di Jepang, membuat dia berpandangan bahwa Islam adalah agama yang identik dengan kekerasan. Namun pandangannya berubah setelah dia tinggal bersama masyarakat yang beragama Islam yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi dan berdialog dengan mereka. Dialog membuat seseorang belajar menjadi lebih rendah hati untuk mengakui keterbatasan mengetahui apa yang dinyakini sebagai kebenaran.

Sikap berdialog amat dibutuhkan. Kemungkinan setiap orang untuk berjumpa dengan yang lain – yang berbeda akan menjadi lebih besar. Di satu sisi hal ini membuat manusia lebih mengenal satu sama lain secara mendalam. Namun, di sisi lain juga bisa dengan mudah terbawa pada konfrontasi langsung.

Karena itu spiritualitas yang dialogal amat diperlukan. Umat beragama pada masa kini dipanggil menjadi “Being religious as being interreligious”. Adakalanya manusia bisa semakin mengenali dirinya ketika ia berjumpa dengan yang bukan dirinya. Spiritualitas seseorang justru dapat berkembang dalam perjumpaannya dengan yang lain. Iman yang dewasa tidak perlu takut berdialog dengan yang lain.

(Lydia Laurina Pristy)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments