HomeJelajah KameraAnak Cucu Pendiri Bangsa, Bicara Tentang Pancasila

Anak Cucu Pendiri Bangsa, Bicara Tentang Pancasila

Dialog Kebangsaan dengan tema “Arti Penting Pancasila Bagi Kesinambungan Hidup Bangsa” kembali digelar oleh Forum Beda tapi Mesra (FBM) pada 1 Juni 2024.

Acara yang bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945 ini menghadirkan narasumber yang merupakan anak dan cucu dari para proklamator bangsa, mereka adalah Puti Guntur Soekarnoputra, cucu dari Ir. Soekarno; Ir. Agustanzil Sjahroezah, MPA., cucu dari KH. Agus Salim; dan Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, anak dari Mohammad Hatta. Adapun sebagai moderator pada Dialog Kebangsaan yang diadakan di Ballroom Artotel Ts Sutos Surabaya ini, yaitu Dr. Linda Bustan, S.Th., M.Div., dosen UK Petra Surabaya.

Sebagai forum lintas agama, FBM terus berupaya melalui dialog-dialog kebangsaan agar kita semua bisa belajar bagaimana cara sebuah bangsa memanfaatkan sejarah masa lalu, kebudayaan, letak geografis dan segala sesuatu yang berhubungan dengan negara untuk menggapai harapan dan keinginan bersama menjadi sebuah bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Sebagai narasumber pertama, Agustanzil Sjahroezah memulai paparannya dengan mengatakan, bahwa  satu hal yang bisa kita pelajari dari pejuang negeri ini adalah semangat untuk melepaskan masyarakatnya dari belenggu penjajahan.

Karena para pendiri negeri sudah mengantarkan ke gerbang kemerdekaan, maka kita punya hutang sejarah, yaitu mengisi kemerdekaan dengan menjaga kesatuan menuju bangsa yang berdaulat, kemudian mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

“Kita sekarang sudah merdeka, tetapi apakah kita sudah berdaulat? Bahwa syarat menjadi sebuah negara bukan hanya ada rakyat dan pemerintah, tetapi ada pengakuan kedaulatan dari dunia internasional. Dan perjuangan kita adalah kombinasi antara perjuangan fisik dan diplomasi. Ini seperti dua sisi mata uang logam,” terangnya.

Selanjutnya Agustanzil mengajak kita semua untuk berhenti dengan slogan-slogan. Mulailah dengan menata diri kita secara pribadi, manata moralitas kita. Sebab inti dari semua itu adalah moral dan karakter yang dibentuk dari kecil.

“Sekarang pendidikan budi pekerti tidak ada lagi. Sejarah pun menghilang, bahkan pramuka akan menjadi pilihan. Karena itu mari kita bangun bangsa ini. Kita harus percaya diri, jangan hanya menjadi penjiplak negara lain. Jangan sampai tidak satunya kata dan perbuatan,” imbuh Agustanzil dihadapan  dua ratus lebih peserta dialog.

Adapun langkah konkrit yang harus dilakukan. Pertama, kuasai dasar-dasar ilmu dan teknologi dengan sebaik-baiknya sesuai disiplin ilmu masing-masing untuk menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks. Kedua, ikuti dengan seksama perkembangan kehidupan politik, ekonomi dan sosial di dalam negeri maupun di luar negeri dengan aktif memantau media-media yang sekarang sangat mudah di peroleh. Ketiga, Mempelajadi sejarah nasional kita. Keempat, membentuk kelompok diskusi. Kelima, menumbuhkan dan melatih karakter.

Amnesia Sejarah

Sedangkan Puti Guntur lebih menekankan, bahwa pengetahuan generasi muda sejarah Indonesia sudah mulai terputus. Amnesia sejarah terjadi di generasi muda Indonesia. Ini tanggung jawab siapa?

Para pemimpin bangsa kita, Bung Hatta, Agus Salim. Hos Cokroaminoto dan para pendiri bangsa memiliki satu ketulusan, etika, dan cita-cita mulia untuk mencapai berdirinya Indonesia sebagaimana pembukaan UUD 1945.

Sebagai bukti bahwa Pancasila tidak hanya milik Bangsa Indonesia, Bung Karno memberikan pidatonya di sidang PBB tahun 1960 yang mengatakan, bahwa ini ada satu ideologi yang bisa menjadi jalan tengah perdamaian kala itu. Ideologi yang menjadi jalan tengah untuk dunia. Bagaimana kemudian seorang soekarno memgimplementasikan bahwa dunia ini tidak hanya dinaungi oleh hegemoni kekuatan barat maupun timur.

Bagaimanapun tanggung jawab kita tidak bisa berhenti sampai di sini. Di tengah era globalisasi, kemajuan teknologi dan segala kemudahan yang kita dapatkan, informasi yang tak terbatas. Ini bukan sesuatu yang harus kita tahan, ini keniscayaan karena dunia seperti itu. kemudahan akses informasi yang tak terbatas ini menyebabkan proses infiltrasi dan penetrasi ideologi asing atau ideologi transnasional.

Hari ini kita berpolitik dengan isu politik identitas. Akibatnya terjadi intoleransi. Hari ini budaya asing masuk, banyak anak-anak genenerasi muda yang lebih tergila-gila dengan grup-grup K-pop. Kita juga lebih senang nonton drakor ketimbang nonton film-film produksi Indonesia. Ini terjadi karena proses globalisasi. Kejahatan cyber, kasus pornografi anak-anak meningkat. Sesuatu yang harus kita prihatinkan.

“Indonesia sebagai negara modern harus berpijak dan berlandaskan pada hukum. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, sebagai fundamen etik, sebagai fundamen politik, ini menjadi hal penting,” imbuhnya.

Lebih lanjut Puti mengingatkan, bahwa yang harus kita cermati jangan sampai ada fudamentalisme agama yang berkedok Pancasila. Seakan-akan pancasilais tetapi kemudaian kita digiring masuk dalam ideologi kanan atau kiri. Ini menjadi tanggung jawab kita semua.

Mengapa Pancasila harus menjadi working ideology? Ini tidak bisa berjalan ketika tidak ada political will, karena pemerintah dan peran seorang pemimpin menjadi sangat penting. Bagaimana dulu para pemimpin kita melakukan plitikal will untuk kemerdekaan Indonesia. Artinya, keberpihakan kemajuan nasional mengacu kepada sumber dari segala sumber hukum yaitu Pancasila. Ini menjadi rujukan bahwa DPR RI harus menjaga undang-undang. Bahwa kita harus berlandaskan hukum sebagai fundamen etik kita dalam bekerja.

Bicara fundamen etik dalam landasan hukum, sebenarnya implementasi Pancasila dalam peraturan perundang-undangan ini menjdai sangat penting dan harus dilakukan. Hari ini kegiatan yang berkaitan dengan Pancasila masih diatur dalam perundangan dalam tingkat pemerintah, PP atau Kepres, bukan dalam kontek ada undang-undang khusus yang lebih menguatkan lagi Pancasila.

Kunci bagaimana mengatasi amnesia sejarah, terutama anak muda, yaitu Pertama, membangun kekuatan persatuan kepemimpinan nasional. Kedua, memperkuat literasi Pancasila melalui penguatan kurikulum dalam pendidikan berbasis pemanfaatan teknologi. Ketiga, penegakan supremasi hukum dan memperkuat moderasi beragama. Keempat, memperkuat pendidikan pancasila baik di lingkungan sekolah maupun keluarga. Kelima, penguatan peran BPIP sebagai lembaga yang melaksanakan proses pembudayaan nilai Pancasila.

Yang terpenting lagi adalah ketika kita bicara tentang eksekutif, legislatif, bicara soal komunitas, meningkatkan kesadaran nasionalisme, cinta tanah air, tahu sejarah, budaya, tatapi ada yang dilupakan yaitu peran keluarga. Kita lupa bahwa tanggung jawab terbesar adalah peran keluarga dalam mendidik anak. Bagaimana seorang anak mencintai Indonesia jika dari kecil tidak diperkenalkan tentang Indonesia?

Implementasi Kedaulatan Rakyat

Sebagai narasumber terakhir, Prof. Dr. Meutia Hatta menekankan perlunya kembali ke UUD 1945. Proklamasi kemerdekaan dimulai dari BPUPKI, itu mengajarkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai dasar hukumnya yang membawahi seluruh sistem perundangan dan peraturan di bawahnya. Sebagai antropolog Meutia mengatakan, nilai budaya bangsa Indonesia adalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, itu adalah nilai budaya Pancasila dan norma budaya UUD 1945.

Lebih lanjut, Guru Besar Universitas Indonesia ini mengatakan, kita sekarang tidak lagi patuh, tunduk atau bangga bahwa kita punya Pancasila. Kita tidak bisa bersyukur, malah memusuhi pancasila.

Bung Hatta berjuang untuk kemerdekaan Indonesia di negeri Belanda. Bung Karno berjuang di tanah air. Mereka berdua berpikir bahwa Indonesia harus merdeka. Kemudian Bung Hatta menerbitkan brosur Kearah Indonesia Merdeka (KIM). Dalam KIM itu berisi dua hal, yaitu doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan.

Bung Karno dan Bung Hatta berjuang bersama. Bung Hatta berpikir tentang kerakyatan dan kebangsaan. Rakyat memperjuangkan tanah airnya. Yang penting adalah kerakyatan yang dipimpin oleh rakyat tetapi ada wadahnya, dan DPR itulah bentuk kerakyatan, rakyatnya yang  berdaulat. Pemimpin membuat kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik. Jadi semua usaha pembangunan nasional dimana pun harus untuk kepentingan rakyat. Di sini Bung Hatta sebagai peletak dasar-dasar kebangsaan dan kerakyatan.

Kita tidak membuat persatuan menjadi persatuan, kita kita membuat persatuan itu menjadi satu hati. Apapun juga kita bersatu dan peduli. Kehidupan bangsa yang cerdas itu tentulah kita perlukan demi menyongsong Indonesia Emas 2045. Di situlah kita mengharapkan terwujudnya “bonus demografi”. Namun, sepertinya pendidikan dan pengajaran nasional kita saat ini belum mampu menghasilkan suatu kecerdasan hidup yang memadai. Sehingga bukan bonus demografi yang kita peroleh, tetapi sebaliknya “denda demografi”. Tetapi itu belum terlambat kalau Pancasila dijalankan dengan baik. Kita harus secepatnya meningkatkan produktivitas nasional untuk mencapai Indonesia Emas dengan gemilang.

Negara kita yang diharapkan kepada kebhinnekaan, bisa utuh menjadi suatu ketunggalikaan bila ada common denominator-nya. Dan the common denominator itu adalah Pancasila. Pancasila adalah eksistensialisme bangsa dan sebagai kesinambungan hidup bangsa Indonesia.

Perjuangan menguatkan kembali nilai-nilai Pancasila harus tetap ada demi kesinambungan hidup bangsa. Pelbagai upaya harus dilakukan, tentu saja tidak hanya dalam forum-forum dialog, tetapi bagaimana mengimplementasikannya melalui kegiatan nyata baik dalam keluarga, pendidikan, pekerjaan atau profesi, maupun dalam giat-giat kemasyarakatan yang dimulai dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah. (doc/brkt)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments