Berpenampilan kalem tapi semangat, itulah kesan BERKAT berbincang dengan Willy Purwosuwito, M.A. yang banyak menggeluti bidang Komunikasi Kristen. Ditemui di ruang kerjanya, pria kelahiran Sala tahun 1945 ini berkomentar seputar gereja Kristen yang mengesa tapi masih belum esa. Berikut penuturannya kepada Titin Suhartini
Wawasan ekumene dibentuk ketika dia memasuki dunia kemahasiswaan di GMKI Cabang Surabaya tahun 1964. Motto ‘Ut Omnes Unum Sint’ yang artinya ‘Supaya mereka menjadi satu’, begitu melekat di hatinya. Dia bersyukur digembleng di wadah organisasi kemahasiswaan yang merupakan bagian dari gerakan ekumene.
Selain banyak belajar berorganisasi juga berkomunikasi dengan teman-teman dari gereja lain. Sebagai anak pendeta GKI Sala, dia biasa bergaul akrab dengan Jakub Lewi Santosa, anak pendeta GPPS Jl. Arjuno yang sama-sama kuliah di Fakultas Teknik Sipil UK Petra. Mereka aktif di GMKI, juga sering belajar di pastori GPPS yang waktu itu gedungnya masih kecil.
Perbedaan Pentakosta dengan GKI itu tak jadi soal, yang penting sama-sama melayani di Dewan Mahasiswa UK Petra. Biasanya kebaktian diadakan selain bergantian tempatnya (GKI, GPPPS, GPIB, GBI, GKJW, HKBP, GBIS) juga pengkotbah dan tata cara ibadahnya. Persandingan dua anak pendeta ini berlangsung sampai sekarang, yang satu menjadi pendeta GPPS dan yang satu menjadi pengajar kampus STAS yang gedungnya berdampingan dengan gedung gereja GPPS.

for Christ Mission Sydney tahun 1995.
Ketika aktif di kemajelisan GKI Ressud, bekal berorganisasi ini sangat menunjang pelayanannya, baik di lingkup setempat maupun sinodal, regional dan nasional. Wawasan ekumene juga dikembangkan dengan menjalin hubungan dengan gereja tetangga: Gereja Katolik Kristus Raja c.q Pastor Sastro. Pernah juga mengundang Pastor Y. Wadas dari Yayasan BUSOS berkotbah di kebaktian Pemuda GKI Ressud. Pada bulan ekumene (Mei) dia mengundang Pdt. Drs. Junias Dharmasutedja dari GPPS dan Pdt. Hendrawan dari Gereja Isa Almasih, untuk seluruh kebaktian umum hari Minggu. ‘kok ya biasa-biasa, tak ada gejolak yang membingungkan jemaat. “Wong Alkitabnya ya sama, tak ada penekanan ajaran gereja yang diwakili, jadi kenapa kita harus apriori?”, begitulah motivasi rekan-rekan sepelayanannya agar tak lagi mempersoalkan perbedaan tapi mencari persamaan.
Di tengah maraknya gerakan kharismatik lahirlah Praise Centre di Kota Surabaya, yang diikuti pesatnya persekutuan doa di mana-mana. Salah satunya Full Gospel Bussines Men’s Felloship International (FGBMFI) yang merupakan wadah persekutuan usahawan Kristen. Pada Konvensi FGBFMI ke 1 di Surabaya dia ikut hadir bersama dengan beberapa anggota jemaat GKI dan juga ada dua pendeta GKI. Di situlah dia terpanggil untuk melayani Tuhan di bidang yang lebih khusus
Kalau sebelumnya dia belajar teologia sendiri dari buku-buku almarhum ayahnya, kemudian belajar teologia kontemporer dari perpustakaan Pdt. B.A. Abednego, maka tahun 1983 dia berkesempatan menekuni studi theologia secara formal dan tahun 1988 memperdalam khusus di bidang Komunikasi Massa Kristen. Kedua program strata satu dan dua itu ditempuhnya di Institut Alkitab Tiranus Bandung yang bercorak Injili, jadi lengkaplah pengalamannya.
“Sebaiknya orang Kristen punya wawasan ekumenis, jiwa injili dan semangat kharismatis. Jadi memandang gereja atau pihak lain itu dengan perspektif yang luas. Jangan cepat-cepat mengatakan seseorang itu Fundamentalis padahal maksudnya orang itu Injili. Ini salah kaprah, orang Kristen seharusnya Fundamental, tapi jangan Fundamentalis, seperti halnya orang Kristen harus rasional, tapi jangan rasionalis. Ini beda sekali artinya. Orang Injili banyak yang kiprahnya ke masyarakat, terjun ke dunia politik, lain dengan orang fundamentalis yang skeptis dan vertikalis”.
Sebaiknya kelompok lain jangan mudah mengatakan seseorang liberal padahal yang dihadapi adalah orang yang neo orthodox. Lalu, ada lagi yang lain. “Kalau melihat orang menyanyi dengan gembira dan bertepuk tangan mengangkat tangan, dan berkata ‘Haleluya’, buru-buru dicap kharismatik”, komentarnya lagi.
Dia menyayangkan kenapa begitu saja kok diributkan, padahal mestinya orang Kristen harus kharismatik dalam arti mengembangkan karunia yang ia miliki. Kharismatik itu dari kata kharismata artinya karunia-karunia itu ada di Roma 12:6-8 dan 1 Korintus 12:8-10. Dia teringat ketika pertemuan Sinode Am GKI tahun 1980 di Ungaran, sekamar dengan almarhum Pdt. Cleemen Suleman, M.Th. Waktu itu Sinode Am GKI ribut mempersoalkan kehadiran FGBMFI, tapi Pdt. Cleemen justru menepis perbedaan soal kharismatik dengan mengatakan “Gereja itu sebenarnya kan harus kharismatik toh?”

Memang ini dilema yang muncul, satu pihak menonjol-nonjolkan pengalamannya dan menganggap pihak lain kurang rohani kalau tidak seperti dia. Lalu orang lain berkomentar wah itu ‘sombong rohani’. Sebetulnya kalau orang Kristen makin mendalami rohaninya, seharusnya makin rendah hati. Menunjukkan buah Roh dalam sikap dan perilakunya, jadi tidak seharusnya sombong. Sebaiknya tak perlu mengatai persekutuan ini menyanyinya seperti nyanyian perkabungan dan tak ada kuasa Roh Kudusnya, atau kalau sakit tak sembuh-sembuh dibilang kurang beriman dan sebagainya.
Kalau seorang memiliki pengalaman rohani dengan Tuhan itu baik, itu penjabaran iman percayanya. Pengalaman rohani itu jangan digeneralisir (disamaratakan), bahwa orang lain harus mengalami seperti dia juga. Pengalaman rohani itu subyektif dan setiap orang Kristen perlu merasakannya. Hanya kita harus berhati-hati agar kesaksian itu membangun dan tidak membuat batu sandungan bagi orang lain.
Ini baru di skala kecil, tak heran di skala yang besar dampaknya makin menggaung karena pengikutnya juga saling mencemooh sehingga terjadilah pengkotak-kotakan dalam kekristenan. Menurutnya, gereja maupun orang Kristen tak perlu mempermasalahkan ‘doktrin sekunder’. Kalau tidak begitu, kapan gereja bisa bersatu dan mengesa?
Gereja dan theolognya yang membuat doktrin sekunder makin banyak: misalnya tentang baptisan air, baptisan roh, sampai cara memuji dan menyembah. Semua punya argumentasi Alkitabiah, lalu saling klaim dan menghakimi sesama orang Kristen. Ini kan tidak baik. Padahal kita punya doktrin primer yang sama dari Alkitab yang sama pula. Doktrin primer itu jelas: “Yesus Kristus Anak Allah Juruselamat”.
Doktrin primer sudah ada sejak orang Kristen pertama, yaitu dengan kata ICHTUS (bahasa Yunani) yang artinya ikan, tetapi sekaligus merupakan akronim dari Iesous Christos Theos Huios Soter. Jadi pegang saja doktrin primernya, kalau mau belajar doktrin sekunder dengan pihak lain boleh-boleh saja, tapi harus dengan kesungguhan, keterbukaan, ketulusan, kerendahan hati sambil berdoa minta pimpinan Roh Kudus agar jangan jadi ajang debat. Makna koinonia bukan hanya persekutuan saja, tapi lebih luas yaitu: komunikasi, kontribusi, distribusi, fellowship, sharing and learning.

Jadi kalau mau bicara soal kesatuan atau keesaan gereja, introspeksi dulu di gereja Anda di kelompok terkecil. Ada tidak kesehatian roh dan jiwa, wong di satu gereja setempat saja belum bisa ‘uniting’ (menyatu yang dinamis), yang terjadi itu baru ‘united’ yaitu bersatu yang statis dalam satu wadah yang sudah mapan. Wadah itu perlu, tapi lebih penting lagi isinya, yaitu orang Kristen yang menyatu hatinya.
Dalam lingkup luas, kita sudah terlanjur terkotak-kotak. Dulu Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI, sekarang PGI) mulai berdiri tahun 1950, sebagai suatu gerakan keesaan gereja di Indonesia. Baiknya di PGI itu sifatnya heterogen, ada gereja Calvinis, ada gereja-gereja Injili seperti GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor), GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa), ada gereja-gereja Pentakosta seperti GBI (Gereja Bethel Indonesia), GPPS (Gereja Pantekosta Pusat Surabaya), GGP (Gereja Gerakan Pantekosta). Tapi karena masalah Pekabaran Injil di PGI kurang disentuh (walaupun ada Departemen Keesaan, Pekabaran Injil dan Pembaharuan Gereja/ KPOPG), tak heran beberapa tahun kemudian gereja-gereja ‘Injili’ menyatukan diri dengan wadah Persekutuan Injili Indonesia (PII) yang lebih menekankan pada otoritas Firman Allah dan penginjilan. Sekarang menjadi PGLII. Lalu gereja-gereja Pentakosta bergabung menyatukan diri supaya punya ciri khas, jadilah Dewan Pantekosta Indonesia (DPI) yang sekarang menjadi Persekutuan Gereja Pantekosta Indonesia (PGPI). Yang terakhir gereja-gereja Baptis juga membentuk Gabungan Gereja-gereja Baptis Indonesia (GGBI). Sedang gereja Katolik dipimpin satu institusi saja yaitu KWI (Konperensi Wali gereja Indonesia). Jadi yang Protestan ini saja sudah ada empat badan pimpinan di pusat, bisa lebih.
Trend mendirikan ‘Kerajaan Gereja’ makin marak di mana-mana, padahal yang penting menghadirkan ‘Kerajaan Allah’. Yang pertama tadi kalau pemimpin gereja berpikir ‘ekklesiocentris’ , berpusat pada gereja, majelis, pendeta. Sedang yang kedua, kalau memimpin gereja berpola ‘Christo-centris’ artinya mengutamakan Kristus ketimbang organisasi atau pribadinya. Seharusnya kita berpegang pada yang kedua ini.
Secara pribadi dia salut bahwa PGI menelorkan lima dokumen keesaan pada sidang Raya X, khususnya dokumen ketiga yang disebut: ‘Piagam saling mengakui dan saling menerima’. “Kalau ini betul-betul menjemaat dan dihayati, akan terciptalah persandingan gereja dengan gereja, bukan persaingan tak sehat. Lihat saja di koran-koran Jakarta pada hari Sabtu, iklan kebaktian gereja di hotel-hotel begitu menarik dengan iming-iming macam-macam”, ujarnya dengan mimik serius.
Secara teologis memang tak ada gereja yang sempurna, makanya Yesus mengatakan: ‘Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga sempurna’ (Matius 5:48). “Keesaan itu indah kalau semua bagian saling memberi rasa enak dan tidak mementingkan diri sendiri. Ibarat gado-gado, kalau cuma satu dua sayur/buah saja rasanya tak sedap. Ia menjadi lezat dinikmati kalau semua bagian terangkum, diberi bumbu, nah itu baru namanya ‘gado-gado”, komentarnya lagi.
Intinya, marilah kita mengedepankan kesamaan dan mengesampingkan perbedaan untuk mewujudkan keesaan. Biarlah dalam keanekaragaman ini, kita mempunyai satu tekad untuk saling mengakui, menerima, menghargai, dan mengasihi. “Kita dapat menjadi satu hanya di dalam persekutuan yang benar dengan Tuhan Yesus Kristus”, urai bapak dari tiga putri dan tiga cucu yang kini masih aktif melayani Firman Tuhan di GKI maupun di lingkungan ekumenis, serta mengajar Etika Kristen di UK Petra dan dua Sekolah Teologi di Surabaya: STAS (Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya) dan STTSI (Sekolah Tinggi Teologi Sulung Indonesia), begitu pula pelayanan lain yang bersifat interdenominasi. (Titin Suhartini)
(Profil Willy Purwosuwito, M.A – BERKAT Edisi 47 Tahun 2000)