HomeSpiritualitasPemimpin Bersahabat? Belajar dari Keteladanan Yesus

Pemimpin Bersahabat? Belajar dari Keteladanan Yesus

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan pelbagai peristiwa di negara kita ini, baik masa pandemi atau pun sebelum pandemi, memberikan gambaran kepada kita apa sesungguhnya hakikat menjadi seorang pemimpin. Pemimpin yang diidentikkan dengan penguasa, yang berarti ‘menguasai sesuatu’.

Gambaran pemahaman ini pun mulai terbawa dalam dinamika kepemimpinan gerejawi. Kepemimpinan gerejawi yang seharusnya kepemimpinan yang melayani, tetapi kerap kali masih mementingkan kepentingan diri, penghargaan, penghormatan, bahkan tidak jarang ‘mengorbankan’ orang lain. Kalau dalam kehidupan bergereja, hal ini muncul dalam ungkapan (walau bernada canda) “inilah aku, utuslah mereka”.

Padahal, sesungguhnya Tuhan Yesus sudah memberikan contoh keteladanan, bagaimana sesungguhnya kehidupan seorang pemimpin di hadapanTuhan dan sesama. Melalui bacaan Markus 10:35-45 ini, kita dapat membagi menjadi tiga bagian:

  1. Permintaan yang egois

Yakobus dan Yohanes mendekati Yesus dan meminta untuk diizinkan duduk bersama-Nya dalam kemuliaan pemerintahan kerajaan Allah. Duduk di sebelah kanan menunjukkan kedudukan sebagai orang kedua, sedangkan duduk di sebelah kiri menunjukkan kedudukan sebagai orang ketiga. Hal ini juga menunjukkan bahwa mereka memiliki keinginan sebagai pemimpin diantara murid dan sekaligus mendapatkan kedudukan secara tetap. Mereka menginginkan keutamaan diantara murid, penghargaan sebagai pemimpin dan juga pengakuan akan kedekatan dengan pribadi Yesus yang akan menjadi seorang pemimpin dari kerajaan Allah.

Permintaan ini dimungkinkan pertama, karena hubungan kekeluargaan dengan Yesus. Matius 20:20-21 menunjukkan bahwa Salome adalah saudara dari Maria, ibu Yesus. Sedangkan Yohanes dan Yakobus adalah putera-putera dari Salome, sehingga Yakobus dan Yohanes merupakan sepupu dari Yesus. Kedua, bahwa mereka menuntut janji yang diberikan kepada murid yang setia, berdasarkan Matius 19:28 bahwa bagi mereka yang mengikut Yesus akan menjadi pemimpin diantara kedua belas suku yang ada.

Tetapi sesungguhnya, permintaan ini tidak memahami pemikiran sang pemimpin yang menuju ke salib. Banyak murid Yesus yang memandang diri-Nya sebagai pemimpin dari kerajaan saat ini dan melupakan tujuan utama kedatangan Yesus ke dunia yaitu salib itu sendiri. Mereka menginginkan penghargaan atas kesetiaan mereka tanpa perlu membayar upah (via dolorosa). Walaupun Yesus sendiri kembali menjelaskan maksud kedatangan-Nya ke dunia, bahkan menantang mereka untuk menjalani apa yang seharusnya Yesus jalani (ayat 38-40).

Yesus memberitahukan kepada mereka bagaimana kedudukan di kerajaan Allah yang tidak diberikan pada kepentingan pribadi melainkan diberikan berdasar kehendak Allah.

  1. Siapa yang layak disebut pemimpin

Ketika murid yang lain mendengar apa yang Yohanes dan Yakobus inginkan, mereka memarahinya. Mungkin mereka marah oleh karena mereka juga ingin mendapatkan seperti yang Yohanes dan Yakobus inginkan. Atau juga, mereka marah karena Yohanes dan Yakobus mengalahkan mereka dengan mendahuluinya mengatakan kepada Yesus. Memang belum jelas, tetapi apa pun dugaan yang ada, mereka sama-sama menginginkan kedudukan di samping Yesus.

Yesus menanggapi mereka dengan mengatakan, “Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (ayat 34b-44).

Ayat ini mau mengatakan bahwa kehidupan dalam kerajaan Allah berbanding terbalik dengan kehidupan di dunia saat ini, di mana pemerintah dan penguasa memberlakukan kekerasan untuk mendapatkan penghormatan. Kehendak Allah diletakkan dalam perendahan diri untuk melayani orang lain. Allah menginginkan, menjadi seorang pemimpin haruslah seorang yang memahami benar kehidupan seorang pelayan.

Dengan kata lain, bahwa jika kita menginginkan penghormatan dan penghargaan, maka kita harus berani untuk meletakkan semua ambisi dan keinginan pribadi kita. Kita harus hidup hari ke hari sebagai seorang pelayan.

  1. Keteladanan spiritualitas

Kehadiran Yesus di dunia adalah kehadiran untuk melayani. Hal ini ditunjukkan dengan kesetiaan menjalani perjalanan salib. Harga untuk melayani Yesus sangatlah besar. Yesus dalam kesetiaan pada Allah, bersedia mengorbankan diri-Nya, kehendak-Nya dan kekuasaan yang ada pada diri-Nya sebagai putera tunggal Allah, dengan menjalani kematian di atas kayu salib. Dia menjalani kematian juga bukan untuk kepentingan pribadi-Nya melainkan untuk menyelamatkan manusia dari kutuk dan hukuman dosa.

Yesus menunjukkan suatu sikap keteladanan bahwa Allah yang Maha Besar bersedia melayani umat manusia, ciptaan-Nya, dengan mengorbankan diri-Nya mengalami kematian di atas kayu salib. Semua dilakukan karena kasih-Nya kepada manusia (Roma 5:8), Dia juga membenci dosa (Ibrani 9:26).

Spiritualitas kehidupan sebagai pemimpin adalah gambaran kehidupan sebagai pemimpin umat yang setia seturut dengan keteladanan Yesus, bersedia berkorban bukan untuk diri pribadi, tetapi untuk kepentingan orang lain dan Allah, maka Allah yang setia akan melimpahi hidup kita dengan kesukacitaan. Amsal 17:17 berkata, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran”.

(Pdt. Kristianto Basuki – Pendeta GKI Tuban)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments