Penyakit Mental

BERITA tentang penyakit mental (mental illness) menjadi topik perbincangan yang ramai akhir-akhir ini. Saya mencoba mengamati bahwa penyakit mental ini banyak terjadi di kalangan artis atau para pesohor (orang ternama). Sehingga penyakit mental akhir-akhir ini menjadi isu sangat serius.

Kasus-kasus bunuh diri, baik yang dialami orang biasa hingga artis-artis tersohor menjadi pertanyaan masyarakat publik yang diikuti dengan komentar-komentar seperti, “loh, kok bisa ya bunuh diri?”, “wah, dia kurang cantik apa, kenapa sampai memilih bunuh diri”, “dia pendeta terkenal loh, bahkan bekerja sebagai aktivis untuk menolong orang-orang yang bunuh diri, kok bisa ya sampai bunuh diri?

Pernyataan-pernyataan berbau negatif tentang penyakit ini pun banyak bermunculan. Dan selalu dikaitkan dengan keimanan seseorang, bahkan pengenalan mereka kepada Tuhan. Dari pada mereka mencoba mencari tahu, mereka lebih memilih melontarkan pernyataan negatif kepada para penderita ‘penyakit mental’ ini.

Saya bukan seorang yang tahu banyak tentang dunia kesehatan. Saya juga bukan orang yang bekerja di dunia medis. Ketidaktahuan saya membuat saya ingin mengetahui banyak tentang isu ‘penyakit mental’ ini.

Salah satu yang saya tahu, bahwa penyakit mental ini adalah sama halnya dengan penyakit lainnya yang juga membutuhkan obat.

Gangguan mental atau gangguan jiwa adalah penyakit yang memengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya. Sama halnya dengan penyakit fisik, penyakit mental juga ada obatnya. Di Indonesia, penderita gangguan mental diidentikkan dengan sebutan ‘orang gila’ atau ‘sakit jiwa’, dan sering mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan, bahkan hingga dipasung. Padahal, penderita gangguan mental bisa dibawa kerumah sakit untuk diberikan pengobatan. Gangguan mental bisa diobati dengan psikoterapi dan obat-obatan. Pada kasus tertentu, dokter akan memberikan kombinasi kedua metode pengobatan tersebut serta menyarankan pasien menjalani gaya hidup yang sehat. (sumber : https://www.alodokter.com).

Jadi menurut beberapa artikel yang saya baca, penyakit mental ini sama dengan penyakit lainnya yang juga membutuhkan obat dan penanganan medis. Namun, seringkali penyakit ini dianggap sebuah keanehan yang diasingkan bahkan dihindari. Contohnya, orang yang sakit jiwa. Beberapa daerah di Indonesia, pengidap gangguan jiwa yang sering disebut sebagai ‘orang gila’ dipasung bertahun-tahun bahkan dipermalukan dan dibiarkan begitu saja. Anggap saja sebuah keanehan yang dialami seseorang menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat pada umumnya.

Bukan hanya masyarakat pada mumnya, di beberapa Gereja pun masih kurang tanggap dengan yang namanya ‘penyakit mental’. Sedikit saja ada umat atau jemaat Tuhan yang bunuh diri dianggap tidak kuat imannya, di cap sebagai orang yang jauh dengan Tuhan. Atau menggaris bawahi orang yang bunuh diri sebagai orang yang putus asa dan tidak punya pengharapan. Ada orang yang dianggap memiliki gangguan jiwa, beberapa Gereja begitu tanggap dengan menghindarinya.

Beberapa Hamba Tuhan, aktivis dan pelayan Tuhan, merasa bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa, sudah ada tempat khusus yang menanganinya, sebut saja Rumah Sakit Jiwa. Memiliki teman, saudara atau keluarga yang aneh kerap kali kita membuat stigma bahwa mereka stress atau tidak waras.

Memang kita tidak memiliki kemampuan khusus untuk menangani orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau penyakit mental ini. Tetapi setidaknya, sebagai umat Tuhan kita menjadi tanggap dan peka dengan kondisi sekitar kita. Bukan memilih untuk menghindari atau bahkan melontarkan pernyataan-pernyataan negatif kepada mereka.

Mungkin tidak beda dengan menghakimi para penderita penyakit kronis, contohnya penyakit kanker hanya karena melakukan dosa atau kesalahan seolah-olah penyebab mereka sakit. Begitu banyak umat Tuhan, yang merasa berhak untuk bersuara dan mengatasnamakan kebenaran hanya untuk mengucilkan orang-orang yang justru membutuhkan pertolongan kita.

Begitu banyak gereja yang masih kurang tanggap dengan orang-orang yang mengalami depresi, stres, perasaan ingin bunuh diri, gangguan jiwa dan penyakit mental lainnya. Masih banyak gereja yang menganggap bahwa itu adalah kesalahan masing-masing pribadi dengan alasan kurang iman dan pengharapan dengan Tuhan. Gereja yang hanya berfokus kepada jemaat yang baik-baik saja dan jemaat yang secara fisik dan mental sehat.

Tuhan Yesus, dalam pelayanannya di dunia, datang kepada orang-orang sakit yang membutuhkan obat, mendatangi orang-orang yang lemah, tiada berdaya dan putus asa, menghampiri mereka yang mengalami kuatir, gelisah, sakit kusta dan masih banyak lagi.

Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa,

Mengapa kita tidak memilih untuk tanggap dan peka kepada mereka yang membutuhkan pertolongan,  ketimbang harus memilih menyatakan suara negatif kita kepada mereka? Mengapa di gereja sendiri masih banyak anak-anak Tuhan yang memilih mengakhiri hidupnya? Dimana kita? Yang ada, kita hanya melihat, mengomentari, menghakimi dan kemungkinan kita akan menyesal karena tidak berbuat sesuatu yang dapat menolong mereka.

Hanya sedikit Gereja yang tanggap dengan keadaan anak-anak Tuhan yang mengalami penyakit mental ini. Selebihnya terlalu memperhatikan dogma, ajaran, kualitas ibadah, performa dalam ibadah tapi begitu cepat mengabaikan keadaan saudara kita yang mengalami kelemahan ini.

Penyakit mental adalah penyakit serius yang juga membutuhkan obat dan penanganan medis. Bukan diasingkan dan dihindari. Jika kita sebagai anak-anak Tuhan, mengapakah kita tidak bergerak menolong mereka, setidaknya membawa kepada penanganan yang tepat (psikiatri), bahkan tindakan yang sudah diteladankan dari Tuhan Yesus sendiri, yaitu bukan dengan menolak tetapi mendatangi dan menghampiri mereka.

(Deastri Pritasari)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments