HomeRefleksiTunduk Kepada Penguasa?

Tunduk Kepada Penguasa?

Refleksi Roma 13:1-2

Pemilihan Umum yang telah selesai berlangsung pada tanggal 14 Februari 2024 ternyata menyisakan residu-residu ketidaknyamanan di akar rumput. Sebagian rakyat bergembira karena pilihannya menang, sebagian lagi bersedih. Namun, kegembiraan dan kesedihan ini ditambah lagi dengan kekecewaan, kemarahan, dan ketidakpercayaan pada hasil pemilu, khususnya pilpres. Suhu politik yang tadinya diharapkan mendingin, setelah berbulan-bulan kita semua dibombardir dengan berita-berita panas mengenai semua paslon, ternyata malah kian memanas.

Di tengah proses penghitungan suara yang belum kunjung usai, yang sangat mungkin berlanjut ke tuntutan ke Mahkamah Konstitusi, saya membaca banyak ungkapan di media-media sosial yang menegaskan bahwa hasil pemilu ini adalah “suara Allah” yang harus dihormati. Slogan berbahasa Latin pun bermunculan: Vox populi, vox Dei, yang artinya, suara rakyat adalah suara Allah. Sebagian lagi memakai ayat Roma 13:1-2 yang menegaskan bahwa rakyat Indonesia harus tunduk pada penguasa yang sah hasil pemilihan umum.

Ini semua membuat saya banyak merenung, khususnya mengenai pemakaian ayat Alkitab dari Roma 13:1-2 dalam percakapan akar rumput ini. Ayat-ayat ini menunjukkan desakan Paulus agar orang-orang Kristen mematuhi pemerintah. Demikian selengkapnya kedua ayat tersebut: Tiap-tiap orang harus tunduk kepada para penguasa yang di atasnya, sebab tidak ada penguasa yang tidak berasal dari Allah; para penguasa yang ada ditetapkan oleh Allah. Sebab itu, siapa yang melawan penguasa, ia melawan ketetapan Allah, dan siapa yang melawan akan mendatangkan hukuman atas dirinya” (TB2).

Coba Anda lakukan pencarian melalui lama Facebook Anda, maka akan muncul banyak posting dalam beberapa hari seusai pilpres yang mengutip ayat-ayat ini. Maka, jelas alur pemikiran sederhana yang dipakai: Karena suara rakyat adalah suara Allah (vox populi, vox Dei), maka rakyat harus menerima hasil pemilu dan tunduk pada penguasa yang terpilih (Roma 13:1-2). Padahal, ada masalah yang tak sederhana.

Roma 13 ini menjadi problematik jika diperhadapkan pada penguasa yang tiranik. Bayangkan, betapa menderitanya orang-orang Kristen di Korea Utara harus membaca teks ini sementara mereka berada di bawah tekanan presiden Kim Jong Un. Atau, cukup banyak orang Kristen Jerman saat kejayaan Hitler yang mematuhi tiran itu karena teks ini.

Cara saya membaca teks ini sederhana saja. Pertama, banyak ahli biblika menunjukkan bahwa konteks historis teks ini adalah karena ketika menulisnya, Paulus tengah berhadapan dengan penguasa yang kebetulan memang (lumayan) baik. Namanya Nero. Kaisar Nero yang berkuasa selama sekitar 12 tahun itu ternyata adalah seorang kaisar yang baik di lima tahun pertama kekuasaannya. Banyak ahli menyepakati hal ini. Barulah di kemudian hari ia berubah menjadi seorang tiran. Bahkan, banyak ahli sepakat bahwa Paulus sendiri mati sebagai seorang martir di tangan Nero.

Teks-teks lain dalam Alkitab, misalnya Wahyu 13—angka 13 memang angka spesial terkait penguasa—muncul sebagai teks perlawanan terhadap penguasa yang jahat. Itu konteks historisnya. Namun, bagaimana teks Roma 13:1-2 itu sendiri harus dibaca? Bagi saya begini. Ayat 1a adalah sebuah aturan umum: “Tiap-tiap orang harus tunduk kepada para penguasa yang di atasnya.” Namun, ayat 1b memberi sebuah kualifikasi tertentu, “sebab tidak ada penguasa yang tidak berasal dari Allah.” Di sini persoalannya. Kata Yunani yang dipergunakan untuk “yang tidak” adalah “ei mē”. LAI TB dan TB2 sama-sama menerjemahkannya dengan kata “yang tidak.” Jika demikian artinya, maka “semua penguasa” memang berasal dari Allah—yang baik atau yang tiranik. Namun, kata eisesungguhnya berarti “jika” dan mē berarti “tidak”. Jadi, konjungsi “ei mē” itu sebenarnya berarti “jika tidak” atau “kecuali.” Maka, sebenarnya ayat 1b perlu dibaca secara harfiah begini: “sebab tidak ada penguasa jika tidak berasal dari Allah” atau “sebab tidak ada penguasa kecuali yang berasal dari Allah.” Bandingkan ini dengan beberapa terjemahan Alkitab berbahasa Inggris: “there is no authority except from God” (NRSV); “There is no authority except that which God has established” (NIV).

Singkatnya, jika sebuah penguasa sungguh-sungguh berasal dari Allah, maka tak ada alasan untuk tidak tunduk padanya. Adalah kewajiban kita untuk mematuhinya. Karena itu, kita harus sungguh memastikan bahwa sebuah kekuasan memang ditetapkan oleh Allah. Di ayat kedua, kata “penetapan” (diatagē) Allah itu ditandaskan untuk menegaskan bahwa memang ini soal ketetapan Allah. Dan di sini soalnya: Dari mana kita tahu bahwa sebuah kekuasaan itu ditetapkan oleh Allah? Di sini serunya …

Pendapat saya sederhana. Setiap bangsa memiliki hukumnya, selain juga nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal. NKRI memiliki Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang memuat prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan yang mengikat pemerintah atau penguasa dan segenap rakyatnya. Misalnya: kemanusiaan, persatuan, keadilan, kepatuhan pada hukum, pembelaan pada rakyat, kejujuran, dan sebagainya. Atau dalam bahasa popular, kita dapat berkata:“Penguasa sejati NKRI” adalah hukum itu sendiri, yang kepadanya pemerintah harus patuh. Maka, lazimnya orang berkata bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtssaat) dan bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Atau jika mau pakai bahasa lain, karena hukum mengabdi pada kemanusiaan seluruh rakyat, “maka rakyatlah Penguasa sejati NKRI ini”.

Maka, kepatuhan kita pada penguasa tidak pernah boleh berlaku mutlak! Penguasa mana pun harus selalu diawasi dan diuji. Bisa saja di awal pemerintahan, si penguasa itu sungguh baik dan patuh pada hukum, maka kita wajib untuk mematuhinya. Namun, jika di belakang hari mereka membelok, kita “tidak wajib” mematuhinya, malah ada titik di mana kita “wajib tidak mematuhinya.” Kaisar Nero adalah salah satu contohnya.

Ketidakpatuhan pada penguasa ini bukan barang baru dalam kehidupan Kristen. Mereka yang mendalami disiplin Etika Kristen pasti terbiasa dengan istilah ketidakpatuhan sipil (civil disobedience). Ketidakpatuhan pada penguasa yang melawan Allah adalah sebuah bentuk kepatuhan pada Allah itu sendiri. “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5:29), demikian kata Petrus dan rasul-rasul lain.

Jadi, jika sudah secara definitif diputuskan, pemenang pilpres yang menjadi penguasa harus sungguh-sungguh beritikad baik untuk membuktikan bahwa mereka memang “dari Allah”. Dengan kata lain, kepatuhan kita pada pemerintah lantas tidak boleh secara otomatis terjadi, apalagi jika harus dilegitimasi secara biblis. Tidak! Kepatuhan rakyat wajib diberikan jika memang penguasa itu menerima penetapannya “dari Allah”.

Dan dalam konteks NKRI, penetapan itu berlangsung melalui pemilu yang jujur, adil, bersih. Selanjutnya, penetapanAllah itu harus dibuktikan oleh penguasa melalui kesediaan mereka untuk tunduk pada hukum dan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, keadilan, dan sebagainya. Maka, secara praktis, saya menyarankan kita semua memiliki dua sikap ini sejak pemerintah baru yang definitif disahkan. Pertama, hargailah proses dan hasil demokrasi dengan mengharapkan agar kebaikan muncul darinya dan dukunglah semua kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai iman yang kita percayai. Kedua, teruslah mempertahankan sikap kritis dan awasilah pelaksanaan pemerintahan. Memberi “karcis terusan” tanpa pengawasan, yang terjadi di dalam sejarah banyak negara, ternyata benar-benar dapat menjerumuskan banyak orang menjadi penguasa yang tidak lagi sesuai dengan ketetapan Allah.

(Pdt. Joas Adiprasetya – Guru Besar (STFT) Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments