HomeTokoh & ProfilOrganisasi, Sebuah Organisme Dalam Gereja

Organisasi, Sebuah Organisme Dalam Gereja

“Repotnya zaman sekarang ini orang melakukan pelayanan, berbuat sesuatu itu dengan pelbagai pertimbangan yang macam-macam.” Demikian komentar awal Prof. Dr. Martin Setiabudi, Ph.D. menanggapi pertanyaan BERKAT tentang perkembangan pelayanan Kristiani saat ini.

Gereja umum yang ada, manusia zaman sekarang ini banyak kena pengaruh modernisasi. Lebih bersifat individualis, materialis, konsumtif. Semua ini mempengaruhi sadar maupun tidak sadar dalam kehidupan bergereja dan pelayanan. Jadi kalu mau melakukan pelayanan, mikir dulu….untungnya apa, ruginya apa. Tak terkecuali hal ini terjadi juga dalam kehidupan gereja dan organisasi Kristen.

Gerakan Pemuda Kristen di zaman saya dulu, tahun 58-an ndak pernah mikir tuh kalau pengen mengadakan sesuatu itu. Ya sudah, semua jalan saja. Kita bisa bikin acara dan pelayanan yang macem-macem. Kecuali kalau ada hal yang sangat urgen sifatnya baru dipikir dan dipertimbangkan.

Bicara tentang visi yang perlu ditonjolkan untuk GKI tahun 2000 nanti menurut Guru Besar Tetap dalam Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Unair ini adalah penataan organisasi gereja dan pembinaan untuk jemaat baik dalam bidang kerohanian  maupun SDM (Sumber Daya Manusia)

“Penataan organisasi GKI ini harus genah dulu.” Katanya. Mengapa begitu? Ya, karena memang masih ada kesimpangsiuran. Memang gereja bukan hanya sebagai organisasi semata, tetapi bagaimana organisasi gereja ini ‘hidup’ dan ‘dirasakan’ oleh masyarakat sekitar menjadi suatu organisme, seperti tubuh kita. Jadi organisme gereja yang tampak dari luar itu hidup.

Di dalam keberadaannya sebagai sebuah organisasi ini juga perlu membina lingkungan. Misalnya kalau ada orang-orang yang diprovokasi untuk membakar gereja, karena sudah ada pembinaan sebelumnya maka bisa nggak jadi bakar gereja.

Dalam tiap gereja harusnya ada badan / lembaga Litbang (Penelitian dan Pengembangan) yang mendata jemaat dan dapat konsultasi satu sama lain. Litbang ini memang benar-benar terdiri dari orang-orang yang profesional untuk pengembangan gereja. Ini diperlukan untuk pembinaan jemaat dalam bidang kerohanian dan SDM.

Pembinaan iman jemaat perlu diprogram secara berkelanjutan. Kita bisa lihat, orang jadi Kristen atau mau jadi Kristen kan ikut katekisasi dulu, setelah itu baru di baptis. Tetapi setelah itu kelanjutannya bagaimana?  Ini kan perlu diperlukan.

Menurut pemikiran saya misalnya saja ada penyampaian khusus bagi pembinaan jemaat yang isinya eksposisi, pengajaran, pengetahuan Alkitab. Secara kontinyu dan khusus disampaikan pada hari Minggu. Jadi diselipkan saat kebaktian tapi tidak merusak liturgi yang sudah berjalan. Resikonya, ya menambah jam kebaktian. Soalnya hari Minggu itu mempunyai daya tarik tersendiri dan jemaat banyak yang datang.

Di Thailand dan Amerika seperti yang pernah saya tahu, pernah ada second hour. Jam untuk tanya jawab. Apakah pendeta kita berani mengadakan, ini tanda tanya besar. Yang penting jemaat mendapat pembekalan yang cukup, biar tidak ada sangkalan nantinya seperti dalam Matius 7:21: Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”.

PA (Pendalaman Alkitab) saja rasanya kurang berarti. Coba lihat berapa banyak yang datang untuk ikut PA itu, jumlahnya sedikit sekali kan? Nah, di sinilah saatnya Litbang mempertimbangkan bagaimana waktu yang ‘visible’ untuk melaksanakan program ini karena masing-masing gereja punya jam kebaktian sendiri-sendiri.Tapi kalau orang berpikir negatif terus, ya keadaannya akan begini-begini terus.

Saya pernah mengusulkan, di gereja ada suatu kelompok yang terserah namanya apa tetapi yang penting kelompok ini terdiri dari orang-orang pemikir, katakanlah think tanknya begitu. Diumumkan keberadaannya di gereja, terserah anggotanya berapa. Tetapi badan ini tidak boleh melanggar aturan gereja sebab keberadaannya ada disamping gereja, seperti DPA (Dewan Pertimbangan Agung).

Anggota kelompok ini biasanya adalah orang-orang yang terlalu sibuk. Jadi cukup jadi pemikir saja. Bisa juga kita memanfaatkan majelis yang sudah tidak menjabat lagi. Mereka ini bisa memberikan nasihat atau masukan tetapi tidak harus dituruti, wong cuma nasihat dan masukan saja lho dan karena mereka juga bukan pelaksana. Yang memutuskan ya tetap majelis gereja.

Satu hal lagi, kalau kita menyadari bahwa gereja adalah tubuh Kristus maka kalau ada gereja-gereja lain yang sakit, kitapun harusnya merasa sakit. GKI ini katakanlah gereja yang kaya, berkelimpahan berkat Tuhan harusnya juga memperhatikan gereja lain seperti misalnya saudara kita di GKJW yang punya banyak grass root. Nah, ini khan harusnya dibantu.

Di sini ada anthropocentris, dengan kemegahan gedung gereja seolah menjadi suatu kebanggaan tersendiri dan … pokoknya aku! kita tidak lagi theocentris, segalanya hanya bagi kemuliaan Tuhan Yesus Kristus.

Inilah sebagian dari buah pemikiran Prof. Dr. Martin Setiabudi, seorang Guru Besar yang masih rajin berpraktik sebagai dokter umum dengan dasar ilmu phisiology. Didampingi istri tercinta, Olly Daryanti Krisna dan tiga oprang anak yang telah sukses semua, damai dan sejahtera. Tuhan semakin nyata dalam kehidupannya. Puji Tuhan.

(Profil Prof. Dr. Martin Setiabudi – BERKAT Edisi No. 42 Tahun 1999)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments