HomeParentingJangan Membebani Anak, Ajarlah Mereka Melihat Kenyataan

Jangan Membebani Anak, Ajarlah Mereka Melihat Kenyataan

MERASA harus selalu menjadi yang terbaik dan unggul, terkadang memang bisa melelahkan. Takut untuk gagal dan kalah bisa membuat kita lama-kelamaan menjadi capek secara batin dan pikiran. Apakah salah kalau selalu berusaha menjadi yang terbaik?

Cerita ini berangkat dari murid-murid saya. Seorang anak yang terbiasa dengan nilai-nilai yang bagus. Suatu saat mendapat nilai pelajaran yang membuat dia menjadi kaget. Sedikit merasa kecewa dengan nilai yang di dapat, dia menyampaikan keluhannya,

‘Bu, kok cuma segitu nilai saya?’
Saya menjawab, ‘Iya Nak, ada jawaban yang kurang tepat’
‘Aduh Bu, kok kecil begitu nilai saya? Nanti kalau di tulis di rapor kan jelek Bu nilai saya’
‘Iya kan Ibu bisa tambahkan nilai yang lainnya, nilai juga bukan segalanya kok yang penting kamu memahami materi pelajarannya’

Singkat cerita, murid saya menceritakan bagaimana dia akan mendapat perlakuan yang tidak baik dari orang tuanya jika di dapati nilainya kurang. Orang tua dan keluarganya menuntut murid saya mendapatkan hasil dan nilai yang baik. Karena tuntutan sejak kecil, membuat murid saya terbiasa dan harus menjadi unggul dalam nilai-nilai di Sekolah.

Ada juga murid lain yang tiba-tiba datang menemui saya di kantor dan mengajukan cuti sekolah. Karena sempat sakit beberapa hari di Rumah Sakit, murid saya tertinggal beberapa mata pelajaran. Dan keputusan untuk cuti cukup mengagetkan saya. Hanya karena tertinggal beberapa mata pelajaran dan takut tidak bisa mengikuti lagi pelajaran yang tertinggal, cuti jadi alasan yang tepat untuknya.

Ketika saya bertanya alasan mengapa hanya karena tertinggal mata pelajaran memutuskan untuk cuti, murid saya menyampaikan bahwa dia adalah anak yang selalu berusaha mendapat hasil yang unggul dan sempurna. Sedikit saja tertinggal dia enggan dan akan merasa dirinya tidak unggul dan sempurna.

Alasan yang sama juga diceritakannya bahwa sejak kecil oma (nenek) nya selalu menuntut untuk mendapatkan hasil yang baik. Jika didapati nilai yang buruk, tak segan sang oma akan memberi hukuman ringan kepada murid saya.

Hal tersebut begitu terekam di memori murid saya untuk berusaha sempurna dan mendapatkan nilai yang unggul. Lebih dari itu, murid saya menjadikan keberhasilan yang sempurna dan unggul sebagai kebiasaan dan pola di sekolah.

Rasanya saya ingin menghela nafas panjang-panjang. Saya pun pernah merasakan hal sama dengan kedua murid saya. Hanya yang membedakan, orang tua dan keluarga tidak sedemikian menuntut bahkan memberi hukuman hanya karena nilai saya jelek di Sekolah.

Beberapa tahun saya memang sempat tinggal bersama nenek dan merasakan didikan generasi tua yang sedemikian disiplinnya diterapkan untuk saya. Saya juga pernah berada di posisi harus berusaha mendapatkan nilai yang baik, dan harus selalu menjadi yang pertama. Kegagalan demi kegagalan membuat saya sadar bahwa saya harus lebih belajar menerima kenyataan (realita) ketimbang meluapkan emosi atas kegagalan saya.

Saya berusaha memahami apa yang menjadi perjuangan mereka. Mereka sama sekali tidaklah salah, apalagi hanya karena sebuah nilai yang dibawah standar. Orang tua juga tidaklah sepenuhnya disalahkan, karena orang tua juga punya kewajiban mendorong sang anak untuk berprestasi di Sekolah.

Kebiasaan menjadi sempurna dan unggul adalah sebuah kebaikan. Tetapi jika hanya karena kegagalan untuk menjadi yang sempurna dan unggul membuat putus asa, emosi, dan menyerah, di mana nilai kebaikannya?

Orang tua dan anak harus sama-sama belajar menerima keadaan masing-masing. Khususnya kepada orang tua yang jauh lebih berpengalaman dan dewasa. Dalam hal ini, orang tua setidaknya mengajarkan kepada anak untuk sebuah ‘kenyataan’ yang harus dihadapi tanpa membebani anak dan membuat mereka merasa terhakimi.

Usaha sang anak untuk menjadi sempurna dan unggul patutlah mendapat pujian dan apresiasi, tetapi ketika sang anak gagal, dukunglah mereka dan selalu ada di sisi mereka. Jangan hanya karena sebuah kegagalan ‘nilai yang jelek’ lantas kita merasa sebagai orang tua berhak untuk menghakimi dan membebani mereka.

(Deastri Pritasari)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments