Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-93, Forum Beda tapi Mesra (FBM) bekerjasama dengan Yayasan Pondok Kasih menyelenggarakan acara Bedah Buku dan Gelar Seni Budaya dengan tema: “Teguhkan Kembali Keindonesiaan Kita!”
Acara yang digelar di Ballroom Surabaya Town Square, pada 30 Oktober 2021 ini dimeriahkan oleh penampilan seni budaya, seperti tarian dan lagu-lagu dari pelbagai daerah di seluruh Indonesia.
Buku berjudul “NKRI Harga Mati” ini ditulis oleh Prof. Dr. Ali Maschan Moesa, M.Si dan diterbitkan oleh penerbit Jenggala Pustaka Utama, Surabaya. Bedah Buku ini menghadirkan sejumlah narasumber sebagai penanggap, antara lain: 1. Dr. Linda Bustan, S.Th., M.Div; 2. Brigjend. Pol. Purn. Dr. FX. Sumarno, S.H., M.H; dan 3. Prof. Dr. Soetanto Soepiadhy, S.H., M.H. Bertindak sebagai moderator adalah Yordan M. Bataragoa, S.T., M.Si.

Ketua Panitia, Purnowo Junarso melalui sambutannya mengatakan, “dengan diselenggarakannya Bedah Buku “NKRI Harga Mati” ini, diharapkan masyarakat khususnya generasi muda dapat memahami lebih dalam tentang NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, acara ini bertujuan: Pertama, menghadirkan ruang diskusi yang terbuka bagi seluruh komponen Anak Bangsa; Kedua, membedah akar permasalahan yang ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan Ketiga, memberikan solusi bagi pemecahan permasalahan yang ada di negara Indonesia ini.”
Memberikan sambutan pada acara Bedah Buku dan Gelar Seni Budaya, Ketua FBM, Syuhada Endroyono, S.H. kembali mengajak seluruh hadirin untuk mengingat kembali semangat Sumpah Pemuda 1928, yang dicetuskan pada Kongres pemuda II yang di ketua Soegondo Djojopoespito dari PPPI berlangsung selama dua hari 27 – 28 Oktober 1928. Kongres ini diikuti 750 pemuda dan pemudi Indonesia dari berbagai organisasi kepemudaan yang ada saat itu. Banyak tokoh-tokoh pemuda yang hadir di kongres ini kelak menjadi orang penting dalam pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan.

“Tokoh-tokoh pemuda ini sudah tidak memiliki pikiran yang terkotak-kotak lagi berdasarkan jatidiri seperti; suku, agama, asal daerah dan lain sebagianya. Sekat seperti itu sudah tidak mereka pakai sehingga semangat persatuan untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu sungguh menggelora. Mereka sadar hanya dengan persatuan sebuah bangsa akan kuat. Semangat inilah yang harus terus digelorakan, apalagi pada beberapa tahun belakangan ini marak didengungkan politik udentitas yang bertentangan dengan semangat persatuan Indonesia,” papar pak Syuhada lebih lanjut.
Sementara itu, pendiri sekaligus ketua Yayasan Pondok Kasih, Hana Amalia Vandayani dalam sambutannya mengatakan, “penguatan nilai kebangsaan harus dilakukan agar generasi milenial selalu mengingat perjuangan pemuda di saat mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Melalui bedah buku ini kita diajak menghidupkan kembali semangat sumpah pemuda yang tidak hanya untuk diperingati tetapi untuk dihayati sepanjang hidup kita, selama kita ada sebagai bangsa Indonesia,” tegas mama Hana biasa di sapa.
Pemaparan yang jelas dan tajam dari Prof. Ali Maschan Moesa, serta penjelasan yang mendukung dan melengkapi dari para penanggap membuat acara bedah buku ini menjadi hidup. Bedah buku ini layak diresapi oleh setiap anak bangsa dalam memahami dan mendalami arti sebuah negara yang berkesatuan berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Acara ini dihadiri dari pelbagai unsur keagamaan, organisasi kepemudaan, instansi pemerintahan, dan tokoh masyarakat serta tokoh agama di Jawa Timur.
Acara yang dihadiri sekitar 75 orang ini diselenggarakan dengan membatasi jumlah maksimal peserta, serta tetap menerapkan protokol kesehatan secara konsisten sesuai Peraturan Walikota Surabaya No. 67 Tahun 2020 tentang penerapan protokol kesehatan dalam rangka pencegahan dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19.