KOTA Soe di Pulau Timor, propinsi Nusa Tenggara Timur, 75 km di sebelah Timur Laut kota Kupang adalah sebuah kota kecil yang relatif terpencil. Di kota inilah pasangan suami istri Eramus Nenobais dengan Tarotjie Nubatonis pada tanggal 21 Juli 1940 melahirkan putra sulungnya, John Christoffel Agustinus Nenobais.
Harapan Sang Ayah
Eramus Nenobais sebagai ayah punya harapan agar anaknya kelak menjadi orang yang berhasil dan taraf hidupnya akan menjadi jauh lebih baik ketimbang dirinya yang cuma seorang pegawai negeri sederhana. Maka ketika pada tahun 1955 anak sulungnya menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat yang kini namanya Sekolah Dasar, dengan penuh rasa bangga dikirimnya si John kecil bersekolah di Pulau Jawa dengan harapan kelak menjadi sarjana. Merantaulah si John kecil ke pulau Jawa dan kota Solo menjadi pilihan tempat studinya.
SMP hingga SMA ditempuh oleh John di kota Solo sejak tahun 1955 hingga tahun 1961. John benar-benar memanfaatkan kesempatan yang diperolehnya untuk belajar di Jawa sehingga bukan hanya pendidikan formal yang ditekuninya, tetapi juga aktif dalam pelbagai kegiatan di gereja-gereja.
John benar-benar menyatu bersama masyarakat di lingkungannya. Maka seiring degan perjalanan waktu si John kecil pun beranjak dewasa. Kepribadiannya makin matang berkat bimbingan almarhum Pdt. Em. Stefanus Tandiowidagdo yang diakuinya sebagai bapak rohaninya.
Kenyataan Yang Berbeda
Kedewasaan John teruji tatkala dia harus memutuskan untuk melanjutkan studi Theologia. Keputusannya ini ditentang keras sang ayah. Namun John tetap pada pilihannya meski dengan resiko tidak lagi diakui sebagai anak oleh ayahnya. John tetap pada pilihannya tanpa harus kehilangan kesetiaan dan hormat kepada sang ayah.
Meski tanpa restu dan dukungan keuangan dari sang ayah, John melangkah pasti masuk STT Duta Wacana Jogjakarta dengan berbekal dukungan keuangan dari pelbagai pihak, antara lain dari GKI Coyudan, yayasan Immanuel Surabaya, para cendekiawan Kristen di Semarang dan bahkan dari negeri Belanda. Maka jadilah John salah seorang dari 19 mahasiswa pertama yang mengikuti kuliah pada STT Duta Wacana Jogjakarta.
Masa studi dan situasi zaman telah menempa John menjadi semakin matang. Pergolakan politik di tanah air pada era 1965 menciptakan kerja sama antara mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jogjakarta. Melalui wadah GMKI/GAMKI John aktif berperan dalam berbagai kegiatan kemahasiswaaan, bukan hanya dengan mahasiswa Kristen tetapai juga dengan mahasiswa Katholidak dan bahkan dengan mahasiswa IAIN.
Enam tahun 1962-1968 putra Timor ini merampungkan studi Theologia, jadilah dia satu diantara tiga Sarjana Theologia pertama produk STT Duta Wacana Jogjakarta.
Merubah Citra Indonesia
Semasa stage di GKI Taman Cibunut Bandung, John yang mengaku sebagai pemuda pemalu ternyata mempunyai kemampuan membaur dan menyatu dengan masyarakat di lingkungannya tanpa harus kehilangan watak kepribadiannya sebagai putra Timor, meski telah 43 tahun meninggalkan kampung halamannya, John tetap fasih berbahasa daerah bahkan logat bicara dan intonasi suaranya tidak pernah berubah.
Hal inilah yang antara lain menarik minat GKI Taman Cibunut Bandung merekrut John, sebab kebetulan GKI Taman Cibunut sedang membutuhkan seorang Gembala pribumi yang mampu menyesuaikan diri dalam setiap keadaan agar GKI Taman Cibunut tidak dianggap sebagai gereja Belanda atau pun gerejanya orang Cina saja.
Setelah pada tanggal 13 Nopember 1968 John menerima ijasah sarjan Theologia, GKI Taman Cibunut meneguhkannya sebagai Penatua Tugas Khusus pada tanggal 22 Desember 1968. Tiga tahun kemudan, tepatnya 6 September 1971 ditahbiskan menjadi pendeta. Maka John yang dahulu adalah si John kecil kini telah menjadi Pendeta John Cristoffel Augustinus Nenobais, S.Th.
Mungkin tanpa disadari sebelumnya bahwa langkah si John kecil meninggalkan kampung halaman dan merantau ke pulau Jawa adalah suatu rangkaian rencana karya Tuhan dalam memanggilnya bekerja sebagai hamba Tuhan.
Mewujudkan Pembauran
Kemampuan Pdt. John menyesuaikan diri dalam setiap keadaan dan membaur dalam masyarakat yang majemuk merupakan salah satu talenta yang dimililiknya. Talenta itu bahkan telah mengantarnya untuk ditahbiskan menjadi pendeta tetapi sekaligus membantu merebut hati seorang gadis etnis Tionghoa yang kemudian menjadi teman hidupnya yang setia.
John putra Timor yang berkulit hitam legam dan berambut keriting, yang mengaku sebagai pemuda pemalu, ternyata dengan penuh rasa percaya diri meminang Ong Siauw Ing salah seorang primadona kampus yang adalah adik kelasnya semasa kuliah di STT Duta Wacana.
Menurut pengakuan John sendiri mereka bagaikan bumi dan langit. Tetapi apalah artinya bumi tanpa langit? Keduanya tentu saling melengkapi, karena keduanya adalah sesama ciptaan Tuhan. Mereka menikah pada tanggal 20 Agustus 1969. Kebahagiaan mereka semakin ceria dengan kehadiran tiga orang putra, Hilda, Josi, dan Indah.
Pasangan suami-istri dengan latar belakang budaya yang berbeda ini, mengaku bahwa dalam membimbing dan mendidik putra-putrinya tidak lagi mengedepankan warna budaya Tionghoa ataupun budaya Timor, melainkan lebih diwarnai dengan budaya masyarakat yang ada di sekitar lingkungannya.
Demikian juga dalam hal memberikan nama bagi ketiga putra-putrinya, Hilda Asiharyati Nenobais, Josias Alimpurwanto Nenobais, dan Indaharini Permatasari Nenobais, nama Asiharyanti, Alimpurwanto dan Indahrini Permatasari lebih dikenal sebagai nama masyarakat suku Jawa. Kalaupun nama keluarga Nenobais masih dicantumkan itu karena baik budaya Tionghoa ataupun budaya Timor keduanya menganut garis keturunan Ayah.
Perjalanan pelayanan Pdt. John cukup panjang dan penuh dengan pergumulan suka duka seirama dengan perkembangan dan kemajemukan jemaat yang digembalakannya dan semuanya itu dihadapinya dengan penuh penyerahan diri kepada Tuhan.
Menjadi pendeta di U.K.Petra Surabaya
Setelah tujuh tahun sejak diteguhkan sebagai Penatua Tugas Khusus hingga ditahbiskan sebagai pendeta di GKI Taman Cibunut, pendeta John berniat mencari pengalaman baru dan dipilihlah GKI Jabar Cirebon. Setelah melalui berbagai prosedur, Pdt. John diteguhkan sebagai pendeta GKI Jabar Cirebon pada tanggal 16 Desember 1975. Dikota udang ini ternyata pelayanan Pdt. John berlangsung relatif singkat, kurang dari empat tahun. Tetapi banyak sekali pengalaman baru yang diperolehnya yang sangat berarti bagi pengembangan wawasannya.
Akhir dari masa pelayanan Pdt. John di GKI Jabar Cirebon adalah langkah awalnya untuk menjajaki pelayanan di Universitas Kristen Petra Surabaya. Pada tanggal 7 Februari 1980 secara resmi Pdt. John diangkat sebagai pendeta yang melayani di U.K, Petra Surabaya, namun status kependetaaannya masih tercatat sebagai pendeta GKI Jabar. Dua tahun berlalu, 24 Februari 1982, status kependetaan Pdt. John pindah ke GKI Jatim setelah diteguhkan oleh Pdt. Drs. Sutedjo sebagai pendeta di GKI Ngagel dengan tugas khusus pada Universitas Kristen Petra Surabaya.
Kembali ke Jemaat
Belum lima tahun Pdt. John melayani di UK Petra ternyata kerinduannya untuk melayani jemaat kembali tergugah, maka pada tanggal 21 Juli 1985 Pdt. John mengundurkan diri dari UK Petra dan kembali melayani secara penuh sebagai pendeta jemaat di GKI Ngagel Surabaya.
Apa kata pendeta yang telah banyak makan asam garam pelayanan ini tentang semangat pembauran terutama dalam konteks integritas kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada saat ini menjadi isu yang sangat marak. Pendeta John bukan hanya mengobarkan semangat pembauran itu sekedar lewat kata-kata tetapai telah mewujudnyatakan dalam kehidupan keluarganya.
Lebih jauh dikatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan semangat pembauran itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegeara yaitu perlu ada “keterbukaan, saling menghargai, dan saling mempercayai”. Jangan merasa diri sendiri lebih bermartabat dari pada orang lain. Pembauran ini tidak boleh terjadi lantaran ada kepentingan diri sendiri, pembaruan itu tidak boleh terjadi lantaran ada kepentingan menguntungkan diri sendiri, pembauran harus didasari oleh suatu kepentingan kerja sama untuk saling menguntungkan. Harus diingat semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, Indonesia.
(Profil Pdt. John Christoffel Agustinus Nenobais S.Th – BERKAT edisi 40 Tahun 1998)