HomeTokoh & ProfilSang Perintis

Sang Perintis

Dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 2 Desember 1913, di tengah keluarga non Kristen. Meski ditentang keras oleh ibunya, Thio Kiong Djin berhasil menyelesaikan pendidikan teologinya pada Sekolah Teologi di Banjarmasin pimpinan Pdt. Karel Epple (Missionary dari Bazel, Swiss), bulan Oktober tahun 1937. Thio ditahbiskan di Mandomai bulan Nopember tahun 1937 oleh Sinode Gereja Dayak Evangelis (GDE) dengan tugas khusus untuk golongan di Banjarmasin.

Awal tahun 1947, Thio menerima panggilan Gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee berbahasa Indonesia, di Jalan Johar 4 Surabaya. Panggilan itu untuk mengisi kekosongan pelayanan pendeta, karena pendeta Kwa Yoe Liang sedang tugas belajar di Holland.

Keluarga Boksoe Thio tergolong besar, tahun 1947 sudah mempunyai enam orang anak, sedangkan jemaat gereja Johar baru saja bertumbuh. Jadi semuanya serba terbatas, gedung gereja dengan ruang kebaktian yang kecil, ruang kantor/ konsistori dan pastori di belakang menyatu dengan gedung gereja. Dengan hanya dua ruang tidur kecil, sehingga kalau malam tiba, tiga orang anak terpaksa tidur di dalam gereja. Setiap Sabtu, tiga buah ranjang kayu mereka harus ditumpuk di pojok ruang kebaktian dan ditutup dengan dinding penyekat papan. Istri Boksoe Thio, Tan So Lin yang dinikahi tahun 1936, disebut boksoe nio, selain memelihara keluarga, juga dengan senang hati nyambi jadi koster gereja. Setiap Sabtu menyapu dan mengepel lantai, membersihkan mimbar dan bangku-bangku gereja, dibantu oleh tangan-tangan kecil anak-anak beliau.

Pasutri Thio Kiong Djien dan Tan So Lin

Kehidupan pendeta tempoe doloe bagaikan langit dan bumi, kalau dibandingkan kehidupan pendeta  dan keluarga di masa kini. Dahulu, jemaat masih kecil, kolekte juga kecil, jadi kehidupan keluarga pendeta, apalagi dengan banyak anak (di Surabaya, tambah dua anak lagi) juga sangat minim dan sering tidak ada beras lagi di rumah. Kalau dalam kehidupan agraris orang boleh saja berkata, “banyak anak banyak rejeki.” Namun dalam kehidupan pendeta, “banyak anak ya banyak derita…” Kendaraannya sepeda pancal dengan ban mati, rumahnya pastori yang gandeng (menyatu) dengan gedung gereja, sehingga pada hari Minggu harus maklum jika ada sebutan “WC-mu adalah WC-ku,” dan “kamar mandimu adalah kamar mandiku.”

Untunglah Tuhan itu Mahakaya, karena anak-anak boksoe diberi tempat bermain sangat luas. Itulah Kantor Gubernur dan tanah sekitarnya, viaduct di belakang rumah gereja, serta hadiah baju-baju bekas dan sepatu bekas juga makanan (bukan bekas lho!) melalui jemaat yang welas asih. Apalagi kalau menjelang Natal, nyanyian “Hujan berkat akan turun. . .” pas sekali  bagi anak-anak boksoe. Jadi meski hidup minim, namun anak-anak boksoe gemuk-gemuk dan sehat-sehat. Bukankah kita lebih dari burung-burung? (Matius 6:26).

Talenta boksoe Thio adalah dalam hal perkunjungan, penggembalaan, penjodohan dan pemondokan, P4 lah! Beliau selalu penuh perhatian pada jemaatnya, yang sakit dikunjungi, dihibur dan didoakan. Tidak peduli panas terik atau hujan, dini hari atau tengah malam, dengan sepeda pancalnya dan tennis schoennya yang bulukan, kalau ada yang menelpon minta dikunjungi, pasti beliau berangkat. Kerendahan hatinya dan kesederhanaannya sering disalah artikan sebagai orang yang boleh diperlakukan semena-mena oleh sebagian orang, namun tidak sedikit orang yang sangat sayang kepadanya. Hidupnya bagaikan nyanyian (NKB 122): “Ku ingin berperangai laksana Tuhanku, lemah lembut dan ramah, dan manis budiku. . . menghibur yang susah, menolong yang lemah. . . dst.” Di antara anak didik beliau yang terkesan oleh kesederhanaan dan kerendahan hatinya adalah almarhum Pdt. Yahya Kumala dan almarhum Pdt. Wiede Benaya.

Boksoe Thio juga senang menjodoh-jodohkan anggota jemaatnya, dan kalau melihat mereka berbahagia, ia spontan melompat-lompat penuh sukacita. Beliau sendiri adalah seorang ayah yang sangat baik dan perhatian, namun sangat disiplin dan keras dalam mendidik anak-anaknya. Setiap pagi dan malam harus mengikuti kebaktian keluarga, menyanyi dan mengucap syukur dalam segala hal. Salah satu nyanyian yang paling sering disenandungkan beliau dengan penuh perasaan adalah “Nun di bukit yang jauh, tampak kayu salib; lambang kutuk nestapa, cela. . . dst” (NKB 83).

Meski pastori sempit, beliau suka memberikan tumpangan kepada orang (di antaranya anggota gereja) untuk tidur berjejal di antara anak-anaknya. Termasuk beberapa sanak keluarga yang datang dari seberang lautan. Istri yang senantiasa manut, hanya bisa geleng-geleng kepala saja, dan anak-anak, wow, tambah banyak tambah ramai, peduli amat!

Di samping empat talenta tersebut di atas, beliau juga punya “bakat bahasa.” Secara autodidak, ia menguasai secara pasif bahasa Jerman (basis dari guru berkebangsaan Jerman dan Swiss di seminari Banjarmasin), Ibrani, Inggris, Belanda dan Hokkian, di samping bahasa Banjar dan Indonesia. Pada akhir hayatnya, buku-buku teologia berbahasa Jerman dan lain-lain, diwariskan kepada Maria, seorang anak beliau yang lulusan STT Duta Wacana, Yogya.

Tahun 1952 adalah saatnya keluarga boksoe Thio meninggalkan Surabaya, karena pendeta Kwa Yoe Liang sudah kembali dari negeri Belanda. Maka Bondowoso-lah tempat pengabdiannya yang ketiga. Di tempat yang baru ini semangatnya tetap tinggi dan Tuhan memberkati semaiannya, sehingga gereja Kristen Tionghoa Bondowoso makin bertumbuh dan berkembang ke daerah sekitarnya. Kejasama yang baik juga terjalin dengan gereja yang berbahasa Madura (Pdt. Markus dari suku Madura). Boksoe Thio juga melayani daerah-daerah perkebunan tembakau dan kota-kota kecil terpencil di sekitar Bondowoso, Jember.

Bersama para kolega pendeta

Tahun 1961 keluarga boksoe Thio terpaksa harus meninggalkan Bondowoso dan terdampar di Malang. Waktu itu adalah masa paling sulit dan kami anak-anak yang pernah mengalami masa berkecukupan di Banjarmasin saat “papah” berhenti jadi pendeta (saat perang dunia II) dan berganti profesi jadi pedagang m’racangan yang lumayan sehingga pernah ditangkap Jepang, sering mengenang masa-masa ‘indah’ tersebut, dengan rumah besar, pembantu dan sebagainya.

Akhirnya pada tahun 1962 boksoe Thio menerima panggilan gereja Hok Im Tong, Ambon. Banyak hal dialami di Ambon dan tuaian juga semakin banyak. Jemaat gereja Hok Im Tong terdiri dari campuran suku Tionghoa dan Ambom. Waktu itu hanya tiga orang anak yang ikut ke Ambon, yaitu Solie, Hokkian dan Elsie si bungsu yang lahir di Bondowoso. Sedang enam lainnya tetap di Jawa, yaitu tiga anak yang sudah bekerja, Georgine (Sosien), John dan Hannie (penulis). Kepada ketiganya diserahi tanggungjawab menyekolahkan tiga orang adiknya, yaitu Dora, Maria dan Hokkie. Memang “papah” terpaksa harus menjadi seorang manajer dan pendidik yang tidak tanggung-tanggung.

Tahun 1971 boksoe Thio kembali ke Jawa (Surabaya-Malang) setelah habis masa kontraknya dengan gereja Hok Im Tong. Itulah masa sulit kedua serta masa depan tidak menentu bagi beliau, apalagi waktu itu belum ada yang namanya pensiun atau pesangon, apalagi rumah untuk berteduh.

Tentu pembaca juga ingin tahu bagaimana keadaan boksoe Thio dan keluarganya sekarang? Pada 30 Agustus 1975 beliau dipanggil pulang oleh Bapa yang dikasihinya dan mengasihinya, di Malang, setelah sakit stroke selama kurang lebih empat tahun. Dan 24 tahun kemudian, istri tercinta menyusulnya pada 4 Desember 1999 di Surabaya. Kesembilan anak-anak beliau semuanya masih hidup, tersebar di Holland, Amerika dan Indonesia. Masing-masing berhasil menyelesaikan sekolahnya, 2 di bidang teologi, 2 insinyur, 2 sastra Inggris dan 1 guru, 1 MBA, bahkan si bungsu Elsie yang dokter spesialis bayi prematur mengepalai klinik bagian bayi-bayi prematur dan penyakit anak-anak di rumah sakit terbesar di Richmond, USA.

Bayangkan, seorang Indonesia dari negara berkembang, dahulunya anak pendeta miskin, sekarang membawahi para dokter dan perawat Amerika di sebuah rumah sakit bergengsi di negara Adidaya tersebut. Bukankah itu disebut miracle, keajaiban! Pernah ada sahabat lama boksoe Thio yang menelepon ingin tahu kabar anak-anak boksoe. Nah, semua anak-anak beliau sudah berkeluarga dan saling mengasihi dan mendukung, selalu kontak melalui email atau telepon dan saling mendoakan. Bahkan rencananya Desember 2003 akan ber-reuni di Indonesia, sambil menyatukan kedua abu orangtua dan melarungnya ke laut. Bukankah kehidupan di dunia bagaikan air sungai yang mengalir dan berakhir di laut yang luas?

Setelah dewasa kami pernah bertanya kepada “papah” tentang pelayanan beliau yang mengorbankan dan menyengsarakan keluarga. Apakah itu kehendak Tuhan ataukah egoism beliau semata? Ada banyak hal yang tidak dimengerti oleh akal manusia, seperti Ayub yang tidak mengerti dan mempertanyakannya kepada Tuhan.Tuhan tidak menjawab Ayub, malah balik menegur Ayub: “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?” dan “Di manakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!” (Ayub 38).

Analoginya adalah seperti seorang petani buta huruf yang ingin tahu tentang teori relativitasnya Einstein. . . Yah, bagaimana Einstein dapat menjelaskannya? Bahkan Raja Daud menyadarinya dan berkata: “Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah!” (Mazmur 139:17).

Gideon Sidarta (Liem Biauw Koen), salah seorang menantu boksoe Thio mendengar dan memperhatikan dengan seksama semua suka duka kehidupan para pendeta tempoe doeloe. Banyak perbaikan yang harus dipikirkan dan dilakukan, dan banyak kekurangan yang harus diubah. Dengan hikmat Tuhan dan talenta yang Tuhan anugerahkan kepadanya, Tuhan berkenan bekerja melalui dia dan rekan-rekannya untuk turut mengadakan perombakan dan banyak perbaikan dalam menyejahterakan kehidupan hamba-hamba Tuhan. Contohnya, pendeta sekarang (Wilayah Jatim) dapat membeli rumah yang ditempati, berdasarkan 40-60, artinya gereja membayar 60% dan pendeta 40% dari harga rumah yang kelak menjadi milik pribadi pendeta tersebut. Pada saat emeritasi juga akan mendapat uang pensiun dari GKI Sinode Wilayah Jatim. Kemudian juga sudah dipikirkan untuk ikut dana pensiun dan asuransi.

Memang Tuhan memberikan manusia pikiran yang berkembang dan hati yang luas untuk keberhasilan pekerjaan-Nya. Semoga Tuhan berkenan memakai kita semua untuk memuliakan nama-Nya, mendatangkan kerajaan-Nya di atas bumi ini. Amin. (Hannie Sidarta-Thio, Anggota GKI Dipo. Surabaya)

(Profil Pdt. Thio Kiong Djin – BERKAT No. 61 Tahun 2003)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments